Selama dua hari Wafi mematikan ponsel guna menghindari panggilan dari rekan yang pastinya menuntut banyak penjelasan mengenai pernikahannya. Ia memang sengaja tidak banyak mengundang rekan sejawatnya, bahkan sahabat karibnya Armand dan Iqbal tidak diundang. Wafi hanya mengirim pesan singkat memohon doa restu walau tanpa kehadiran mereka. Sengaja Wafi lakukan karena memang pihak keluarga Lara tidak mau menerima tamu selain keluarga.
Hari ini Wafi datang ke salah satu restoran miliknya menemui dua sahabat yang sudah sangat penasaran. Terutama Armand yang menunjukan rasa tidak sukanya secara langsung. Sedangkan Iqbal hanya memberikan support atas keputusan mulia yang diambilnya. Berharap, kelak pernikahan yang bisa disebut guna untuk menangguhkan aib akan berubah menjadi pernikahan yang penuh keberkahan.
"Ternyata sikap baik selama ini cuma tameng buat nutupin semua kelemahan lo. Apa lagi kalau bukan pengecut kalau menjaga hati aja nggak mampu. Sedangkan lo nggak tahu, bisa aja di sana Zahra menunggu kesetiaan lo buatnya," kata Armand dengan intonasi meremehkan. Ia benar-benar menyesali keputusan Wafi yang naif.
"Lo jangan menghakimi Wafi begitu. Gue rasa banyak pertimbangan yang dia udah pikirkan. Menurut gue sikap Wafi beneran gentle. Mau mengangkat derajat perempuan itu menjadi istrinya. Nggak cuma itu, tapi juga menerima janin yang sekarang sedang dikandungnya," bela Iqbal tak terima Wafi disudutkan.
"Jujur, kalau tahu akan begini akhirnya gue nyesel udah di rawat di rumah sakit itu. Gue beneran menyesal kalau akhirnya menjadi jembatan perantara pernikahan lo sama perempuan itu," desis Armand menunjuk Wafi yang tak berniat bersuara. Mungkin jika dia tidak mengalami kecelakaan saat ditugaskan di sini, Wafi tidak akan mengenal dengan perempuan Malang itu.
"Wait, Bro! Kayaknya lo keterlaluan, deh. Ini jalan hidup Wafi. Sebagai sahabat harusnya kita dukung. Bukan menghakimi begini. Lagian apa yang dirugikan dia sama lo? Nggak ada, kan? Kita nggak berhak ikut campur dalam ranah pribadi Wafi. Dia udah dewasa. Tahu mana yang terbaik buatnya. Ayolah, Ar, open minded! Status Wafi di sini single tanpa kekasih. Bolehlah lo marah sama dia kalau emang Wafi udah berkhianat sama Zahra. Tapi, kan, lo tahu gimana hubungan mereka. Nggak ada apa-apa. Nggak ada ikatan khusus yang mengharuskan saling menjaga hati." Iqbal mulai kesal pada sikap Armand yang menurutnya keterlaluan menuduh.
"Sebelumnya gue mau minta maaf sama kalian karena kasih kabar itu mendadak. Bahkan gue nggak mengundang kalian hadir di hari sakral itu." akhirnya Wafi buka suara.
"Nggak apa-apa, Bro. Gue, sih, santuy. Yang penting lo yakin sama pilihan ini," sahut Iqbal menepuk pelan bahu Wafi.
Mata biru Wafi memandang Armand yang masih terlihat gusar. Lantas ia mengembuskan napas lelah. "Lo nggak bisa memaksakan kehendak gue. Mungkin kesabaran menunggu takdir jodoh gue sama Zahra hanya sampai di sini. Ops, bahkan gue baru sadar kalau gue menunggu dia sendirian udah tiga tahun tanpa berkabar. Menurut lo, gue harus terus bersabar menunggu sampai tiba saatnya dia kembali untuk menyatakan cinta?"
Armand terdiam. Kesulitan mencari kata-kata untuk menjawab.
"Gue akan mencoba mengubur perasaan ini. Mungkin aja dengan status gue yang sekarang lama-lama akan terkikis rasa cinta dalam hati gue perlahan-lahan."
"Tapi nggak harus dengan perempuan itu yang jelas-jelas lo tahu dia itu korban ..." Armand mengusap kasar wajahnya yang tampan. Guratan kekecewaan terlukis jelas di sana.
"Sebagai korban yang saat ini mengalami keterpurukan sengaja gue legalkan status sakral ini buatnya. Terus terang, sejak gue bertemu dia di rumah sakit, gue selalu terbayang akan penderitaan yang Lara rasakan. Dan gue juga nggak bisa mencegah untuk nggak ikut memedulikan empati ini. Gue nggak bisa. Maka saat ada kesempatan untuk menjadi penawar luka untuk Lara dan Ibu Salma, gue menyerahkan diri untuk menjadi bagian kepedihan itu. Karena semakin gue mengindari, rasa ini akan terus mengusik di sini ... juga di sini." Wafi menujuk bagian kepalanya lalu menekan bagian jantungnya."Ada kesakitan yang nggak bisa gue ungkapin semua. Tapi yang jelas, saat ijab kabul berhasil gue ucapkan, sesuatu yang asing tiba-tiba memburamkan kecemasan itu."
Armand terdiam. Menyadari jika perilakunya tidak berlandaskan logika. Entahlah, karena yang dirasakan Armand saat ini adalah bagaimana dengan perasaan Zahra yang mencintai Wafi. Ia tidak bisa membayangkan jika perempuan itu terluka mengetahui fakta ini. Pastinya, Armand tidak akan sanggup melihat mata indah Zahra mengeluarkan air mata.
"Gue harap keputusan gue tepat. Karena yang terutama buat gue saat ini adalah Lara tetap bisa melanjutkan hidup bersama bayi dalam kandungannya tanpa beban pahit dengan status menjadi istri gue," tambah Wafi penuh ketulusan.
"Sakinah, mawaddah dan warahmah buat pernikahan lo. Gue salut sama keberanian yang lo punya," puji Iqbal. Ia meringis mengingat betapa pengecut dirinya masih menggantung nasib kekasih yang sudah empat tahun dipacari.
"Armand," panggil Wafi membuyarkan lamunannya. "Gue harap lo ngerti sama keputusan yang udah gue ambil."
Akhirnya Armand mengangguk. Senyum tipis bergelayut di ujung bibirnya. "Sori, tadi gue terlalu emosi. Gue harap lo bahagia sama perempuan itu."
"Lara. Nama istri gue Lara," protes Wafi mengingatkan.
"Ah, ya, Lara pasti beruntung bisa dipinang sama laki-laki macam lo."
Kedua alis Wafi terangkat meminta penjelasan maksud dari kata 'macam.'
"Lo, kan, jejaka tulen yang nggak pernah nebar benih sembarangan. Iqbal aja yang cinta banget sama Shafira pernah belok cari tampungan pembuangan sperma," cibir Armand tertawa.
"Berengsek! Gue cuma sekali kebablasan. Nggak bakal gue ulangi lagi!" dengkus Iqbal meninju bahu kokoh Armand.
Wajah Wafi memanas menerima ejekan vulgar sahabatnya. "Gue pilih terbuang percuma daripada harus melakukan hal laknat itu." Wafi menatap tajam Armand yang tampak mengejek prinsipnya. Walau bukan ahli ibadah ia sangat menghindari perbuatan yang diharamkan. "Mau sampai kapan lo menebar benih sembarangan?"
"Sampai perempuan baik-baik yang gue minati mau menerima cinta gue," jawab Armand lugas. Sesaat, ia langsung merapatkan bibirnya.
Sebelum Wafi dan Iqbal gantian menginterogasi mengenai pernyataannya, Armand sudah lebih dulu beranjak dengan alasan sudah tak tahan ingin ke toilet.
"Semoga kecurigaan gue selama ini nggak benar," gumam Iqbal tak sadar.
"Maksud lo Armand lagi suka sama perempuan misterius?"
"Eh, bukan hal penting juga. Biarkan aja bastard itu tobat dengan cara sendirinya," kilah Iqbal sembari menyesap minuman dinginnya.
Laki-laki gagah yang telah menetap di Jakarta adalah putra tunggal pemilik perusahaan bonafid yang berkembang dalam bidang properti itu sudah sangat lumrah dari pergaulan bebas. Alkohol dan seks adalah paket yang sudah sering Armand cicipi.
Wafi mengangguk menyandarkan punggung. Apa pun itu, Wafi tetap menginginkan sesuatu yang baik untuk kedua sahabat sejati yang sudah bersama semasa putih abu-abu.
.
.
.Ehem, menurut kalian pilih mamas bule buang 'nganu' percuma atau buang ke lubang sembarangan???🙈
*Senin, 06 Juli 2020
EL alice
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Lara (series) ✔
Storie d'amore#bukanceritareligi "Jodoh itu cerminan diri. Bukan dengan mata manusia biasa pantulan diri kita terlihat. Tapi cermin Allah yang menilainya. Allah yang memantaskan dengan siapa kita berjodoh. Dan kamu ... adalah pilihan Allah yang dipantaskan menjad...