Eh, yang udah main-main IG harap tahan diri klo liat spoiler dan MV yang entah kapan terealisasi. Mon isi stok kesabaran untuk menanti adegan kembang gula mamas bule 😻
Happy Reading
.
.
.
.Suasana stasiun kereta api hari cukup lenggang mengingat bukan saat weekend atau pun liburan panjang. Wafi baru saja mengantar ibu mertuanya untuk kembali ke Jogja. Sudah satu minggu beliau menemani kepindahan Lara di Jakarta karena kesibukan Wafi meng-handle cabang resto yang baru.
Sebenarnya Lara masih ingin menahan ibunya di sini. Tapi di kampung ada adik laki-lakinya yang masih bersekolah di tingkat pertama. Bocah itu memang tidak mau ikut karena takut ketinggalan materi pelajaran mengingat tak lama lagi akan menghadapi ujian akhir.
Jangan takut, Ibu yakin suami kamu orang baik. Dia akan menjaga kamu dan calon cucu Ibu. Berbaktilah padanya.
"... apa?"
"Hem?" Lara menoleh dengan mata mengerjap kebingungan. Ia baru saja melamun.
Wafi tersenyum simpul. "Kamu mau makan apa? Ini udah lewat dari jam makan siang?"
"A-aku belum lapar," jawab Lara gugup. Memilih menunduk menatap sandal yang dipakai.
Kegiatan Wafi terhenti saat hendak melajukan kemudi. "Ada baiknya saat ini lebih utamakan yang dibutuhkan janin kamu. Oke, kita ke restoran saya aja yang nggak jauh dari sini."
Laju kendaraan Wafi berjalan santai. Sekilas melirik pada perempuan yang terlihat gelisah pada posisinya.
"Kita pulang aja."
"Kenapa? Cuma makan aja, kok."
"Tapi aku mau makan di rumah aja."
Wafi mengembuskan napas pelan. "Oke, kalau gitu take away aja nanti makan di rumah."
Lara mengangguk menurut.
Roda empat Wafi akhirnya tiba di sebuah area resto yang cukup ramai. Memarkirkan mobil lalu membuka seatbelt yang mengikat tubuhnya.
"Aku tunggu di sini aja."
Wafi menatap tanya pada Lara yang tampak serba salah.
"Aku malu," lirihnya menunduk meremas kain rok.
Wafi mengerti kenapa Lara tampak tak nyaman. Perempuan ini pasti belum bisa beradaptasi pada lingkungan luar yang ramai. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama, kok." sebelum menutup pintu Wafi merogo kantong celana lalu memberikan sebuah ponsel pribadi miliknya."
Lara mengernyit tak mengerti.
"Takutnya nanti lama di dalam. Supaya nggak bosan nunggu kamu bisa mainan hape aja. Mungkin bisa download game kesukaan kamu."
Untuk sesaat Lara terkesima. Kenapa bisa laki-laki ini memberikan benda pribadi yang bisa saja tersimpan sesuatu yang private. Sedangkan Lara tahu di luar sana banyak pasutri yang memang memiliki batasan dalam hal ini untuk tidak terlalu mengetahui isi dalam benda seluler tersebut.
"Nggak usah, aku tahu diri untuk nggak melakukannya."
"Lara ..."
"Mas Wafi ..."
Keduanya saling bertatap lama. Wafi tertegun mendengar namanya disebut oleh suara lembut itu. Ia sampai merasa jika Lara tidak mengetahui namanya. Konyol memang. Dan wajar karena hubungan mereka bukan suami istri pada umumnya.
"Maaf. Kalau gitu saya ke luar dulu," kata Wafi tapi tetap meninggalkan ponsel miliknya di atas dashboard. Ia jadi berpikir akan membelikan yang baru untuk istrinya.
Dari dalam mobil Lara melihat betapa ramahnya Wafi menyapa para pegawainya. Terlihat juga mereka menaruh hormat yang tulus. Lara tersenyum perih, bisa-bisanya laki-laki itu mau menjadi tameng pelindung untuk dia dan janinnya.
Kasihan.
Ya, hanya satu kata yang Lara sematkan dalam status pernikahannya. Semua karena nasibnya yang membuat siapa saja iba melihatnya. Sampai Wafi bersedia menikahinya.
Terlalu larut dalam pikirannya akhirnya Lara memejamkan mata merasakan kantuk yang luar biasa.
***
Wafi tampak serba salah dalam posisi kemudi yang telah dimatikan. Hampir lima belas menit hanya terdiam dengan sesekali melirik perempuan yang masih tertidur pulas. Wafi bingung bagaimana membangunkan Lara sedangkan ia takut menyentuhnya.
Jujur, ia tak bisa diam sejak tadi memikirkan caranya. Sampai akhirnya gerakan tangan yang sejak tadi tak bisa diam menyenggol sebuah hiasan binatang pada dashborad yang membuat suara gaduh.
Bulu mata panjang Lara bergerak perlahan. Mengedarkan pandangan pada pekarangan asri halaman rumah yang sudah ditempatinya satu minggu.
"Masuk, yuk! Nanti makanannya keburu dingin." gerakan Wafi terhenti saat mau membuka pintu.
"Berapa lama aku tidur?"
Wafi menoleh canggung. "Nggak lama. Ayo!"
Lara mengangguk pelan. Walau rasa kantuknya masih ada, berusaha tegar membuka paksa matanya. Mereka melangkah memasuki bangunan klasik megah. Meski pembawaannya sederhana, Lara tak menyangka jika Wafi memiliki asset semewah ini. Membuat dirinya makin merasa hina bersanding dengannya.
"Kamu istirahat aja di kamar. Saya siapkan makanannya dulu. Nanti saya antarkan ke kamar kamu."
"Tunggu."
Langkah Wafi yang hendak menuju pantry terhenti oleh paper bag yang ditahan oleh jemari mungil.
"Biar aku aja yang siapin. Kamu tunggu aja di meja makan."
Wafi mengangguk kemudian berlalu menuju ruangan yang terdapat meja lebar dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Dari kejauhan ia bisa melihat Lara yang tengah sibuk mengeluarkan makanan dari dalam paper bag untuk dipindahkan ke piring dan mangkuk. Sampai kegiatan Lara selesai dan hendak menuju posisinya Wafi berpura-pura sibuk dengan memainkan ponsel takut kedapatan jika sejak tadi ia memerhatikan gerak-gerik istrinya.
Setelah makanan tersaji keduanya makan dalam diam. Jujur saja Wafi sangat penasaran apa yang tengah dirasakan Lara saat berdekatan dengannya. Meski mulut perempuan itu tetap mengunyah tapi Wafi tahu jika pikiran Lara tengah menjauh dari raganya.
"Kamu nggak perlu khawatir. Kita nggak akan satu kamar tidur. Meski Ibu udah pulang, saya tetap menempati kamar yang kemarin."
Lara hanya mentap Wafi sebentar lalu menganggukkan kepala.
"Kamu juga udah tahu kalau di rumah ini ada Mbok Ijah sama suaminya Mang Diman. Kalau perlu apa-apa jangan sungkan sama mereka. Dan kalau emang kamu ketakutan sama saya, kamu bisa meminta tolong si Mbok dan Mamang untuk memukul saya," kata Wafi menjelaskan agar Lara membuang rasa takutnya.
Lara langsung mengehentikan kunyahan mulutnya menatap bingung pada Wafi yang kini mengeluarkan kekehan.
"Maaf, saya bercanda. Silakan habiskan makananmu."
Lara menyadari jika piring Wafi telah kosong. Sedangkan miliknya baru setengah saja yang masuk ke dalam perutnya.
"Hem, kamu nggak apa-apa kalau saya tinggal sebentar?" tanya Wafi tampak sungkan begitu Lara menyelesaikan makannya.
"Kalau mau pergi silakan. Urusan penting jangan ditunda-tunda."
Mulut Wafi yang hendak terbuka kembali terkatup melihat sambutan dingin dari bicara Lara. Interaksi pertama berdua jelas terlihat kaku meski Wafi sudah berusaha membuat santai situasinya.
"Assalamualaikum," pamitnya berdiri, lalu berlari menuju pintu keluar.
Lara mengembuskan napas lega. Menatap datar kepergian Wafi yang terburu-buru. "Walaikumsalam."
.
.
.
.*Sabtu, 11-Juli-2020
EL alice
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Lara (series) ✔
عاطفية#bukanceritareligi "Jodoh itu cerminan diri. Bukan dengan mata manusia biasa pantulan diri kita terlihat. Tapi cermin Allah yang menilainya. Allah yang memantaskan dengan siapa kita berjodoh. Dan kamu ... adalah pilihan Allah yang dipantaskan menjad...