Dalam posisi duduk punggung Wafi berdiri tegak bersebelahan dengan Farhan yang menunduk. Sorot mata Wafi tak lepas memerhatikan kedua orangtua yang dihormatinya. Layaknya orangtua kandung karena Wafi menyayangi paman dan bibi yang telah merawatnya tulus. Suami istri itu masih bungkam mencerna semua perihal itikad keponakannya mengenai rencana pernikahan bersama perempuan yang menjadi korban.
Ekspresi wajah Wafi mulai menegang begitu helaan napas rendah diembuskan oleh laki-laki berusia lima puluhan.
"Kamu sudah memikirkan dampak baik buruknya?" tanya Bahar menatap lekat manik biru yang meredup.
"Sejujurnya, hal ini sudah terlintas saat kedua kali saya bertemu dengannya di rumah sakit. Melihat kesedihan ibunya ada rasa sesak ingin menarik beban berat Ibu Salma ke pundak saya, apalagi saat melihat keterpurukan putrinya yang terus menerus. Bahkan yang saya tahu beberapa kali dia melakukan bunuh diri membuat saya yakin untuk meminangnya, meski saat ini dia sedang mengandung. Saya nggak mau kejiwaan Lara makin memburuk karena bisa menyakiti dua nyawa sekaligus," terang Wafi penuh ketulusan.
"Masa depan kamu bisa lebih baik dari ini. Sekalipun bukan Zahra tapi kenapa harus sama korban pemerkosaan! Astagfirullah, Wafi, cobalah kamu pikir dampak buruk yang akan kamu terima. Cibiran dan ejekan memalukan lama-lama pasti akan buat kamu tertekan. Bibi sayang kamu. Coba kamu pikir lagi baik-baik. Jangan sampai kamu menyesal, Nak," kata Hana yang tak lain bibi asuhnya.
"Kamu tenang. Ini semua sudah menjadi keputusan Wafi." Bahar mengusap pelan sebelah bahu istrinya. "Dia sudah sangat dewasa mengambil keputusan. Kita sebagai orangtua hanya bisa mendukung dan mendoakan. Semoga rumah tangga mereka sakinah, mawaddah dan warahmah."
"Semua sudah menjadi pilihan saya. Insya Allah, saya akan berkomitmen sunguh-sungguh. Setiap manusia yang diciptakan Tuhan adalah makhluk suci. Kalaupun dia ternoda itu terjadi karena pilihan hidupnya. Tapi kalau untuk kasus Lara, rasanya nggak adil banget kalau cuma dia yang disudutkan. Saya ikhlas menerima dia apa adanya karena ingin yang terbaik buatnya," ucap Wafi menatap serius paman dan bibinya. "Saya nggak akan menyesal. Terlepas dari kasus ini Alara Nafisah adalah perempuan baik-baik karena Farhan sudah lebih jauh mengenalnya," imbuhnya melirik Farhan yang terkejut diikutsertakan.
"Kamu kenal, Han?" tanya Hana penasaran.
"I-iya, Bu. Lara junior Farhan di kampus. Mahasiswi baik-baik, pekerja keras dan menyayangi keluarga. Lagian untuk kasus ini Lara hanya korban dari tiga tersangka yang nggak lain teman satu jurusan yang emang punya reputasi buruk. Ya, walaupun hasil pernyataan penyelidikan yang beredar di kampus bahwa kejadian itu atas tindakan nggak direncanakan karena adanya kesempatan. Kasus itu juga ditutup Ibunya Lara karena nggak berminat melanjutkan. Beliau takut Lara depresi kalau harus bolak balik pengadilan. Apalagi ketiga tersangka udah tewas kecelakaan," urai Farhan gugup. Ekor matanya melirik pada senyum sinis kakak sepupunya. "Aku yakin Mas Wafi nggak akan menyesal menjadikan Lara pendamping hidupnya."
"Kapan kita ke sana?"
Kedua alis tebal Wafi terangkat. Bahkan Hana dan Farhan ikut tersentak mendengar suara berat yang paling bijaksana.
"Kapan kita melamar calon istri kamu?" ulang Bahar tersenyum.
"Minggu ini juga karena nggak sampai lebih dari tiga minggu ijab kabul harus segera dilaksanakan. Karena setelahnya saya harus pindah ke Jakarta mengurus pembukaan food court," sahut Wafi antusias.
"Baiklah. Kamu segera beritahu calon mertuamu kalau kita akan datang."
Pancaran keharuan terlihat jelas dari warna biru samudra yang berbinar. "Makasih, Paman. Makasih, Bibi." kemudian Wafi menoleh pada Farhan yang tampak serba salah. "Makasih adik sepupuku yang terbaik." sindirnya sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Lara (series) ✔
Romance#bukanceritareligi "Jodoh itu cerminan diri. Bukan dengan mata manusia biasa pantulan diri kita terlihat. Tapi cermin Allah yang menilainya. Allah yang memantaskan dengan siapa kita berjodoh. Dan kamu ... adalah pilihan Allah yang dipantaskan menjad...