25. Terlambat

765 58 10
                                    

Happy reading :)

Maap klo apdetnya lama ,aku lgi sekolh online 😭 jd sibuk .
.
.
.

Enjoy
.
.
.

Walau berat aku harus merelakan kamu pergi.

ingat, kita adalah pernah, bukan punah, bukan menyerah hanya sudah.

- Dari Anaya untuk Gilang.


Naya bungkam seribu bahasa, otaknya berusaha mencerna apa yang dilontarkan oleh laki-laki di sampingnya ini, perlahan air mata Naya sudah jatuh, melupakan semua ucapan yang tadi laki-laki itu katakan, Naya menggeleng lemah. Otaknya berusaha menepis semua pikiran-pikiran yang kini mulai bersarang.

Gio berdiri dan mensejajarkan dirinya pada Naya, tangannya menarik pelan bahu gadis itu lalu mengusap air mata Naya yang terus-terusan keluar.

"Gue udah bilang, dia gak suka liat lo nangis, please, gue mohon lo jangan merasa bersalah karena ini." Naya menatap Gio dengan mata merahnya, ingin berbicara tapi tak kuasa, hatinya sungguh sakit, kenyataan yang tak ia harapkan kenapa harus terjadi?

Tangisan itu semakin terdengar jelas, mau tak mau Gio langsung mendekap Naya erat, toh ia hanya sekedar menenangkannya saja, Gio mengusap punggung Naya. "Janji sama gue, lo jangan ngelakuin yang aneh-aneh setelah ini!" Naya tidak memberontak, malah ia semakin membalas pelukan Gio dan menganggapnya sebagai Gilang-- kekasihnya yang sudah tiada.

Beberapa menit berlalu, Gio tidak lagi mendengar isak tangis gadis itu, perlahan ia melepaskan dekapanya dan ternyata Naya tidak sadarkan diri.

***

"Gue di mana?" ucapnya, tempat yang ia lihat pertama kali adalah sebuah kamar yang berwarna abu-abu walau lebih di dominasi warna putih.

Naya mencoba mengingat-ingat apa yang tadi ia lakukan sebelumnya. Sesak kembali merajalela memenuhi hati Naya. Kalau ini mimpi, tolong segera bangunkan dan sadarkan dirinya sekarang juga?


Seseorang datang membuka pintu kamar, terlihat laki-laki yang tadi bersamanya masuk sambil membawa segelas air di tangannya. Buru-buru Naya menghapus sisa air matanya tadi.

"Eh, udah sadar," ucap laki-laki itu.

"Ini di mana?" tanya Naya, sampai saat ini Naya masih belum mengetahui nama laki-laki yang bersamanya saat ini.

"Di rumah gue, oiya lo belum kenal gue kan? Gue Gio, adeknya Bang Gilang." Mendengar nama Gilang, wajah Naya kembali murung.

"Gue udah bilang, lo gak boleh nyalahin diri sendiri!" Naya diam, tak berniat untuk menjawab apa yang Gio katakan.

"Nih minum dulu." Naya mengambil gelas itu lalu meminumnya sedikit.

"Kalo boleh tau, gimana ceritanya, terus Gege sakit apa?"

Gio langsung menghela nafas. "Ceritanya panjang, Nay, tentang penyakit Bang Gilang...dia kena kanker darah, penyakit itu menurun dari Bunda."


"Lo istirahat lagi aja," suruh Gio supaya Naya tidak terlalu memikirkan apa yang tidak perlu di pikirkan.

***

Melihat Naya yang terus bersedih membuat hatinya teriris. Dia dapat merasakan rasa cinta yang teramat luar biasa dari seorang Naya untuk Gilang. Setelah berfikir selama beberapa menit akhirnya Gio memutuskan untuk mengantar Naya pulang ke rumahnya.

"Naya."

"Nay..."

"ANAYA!!"

"E-eh iya, kenapa?"

"Gue anter pulang, udah sore."

Naya mengangguk lalu membuntuti Gio dari belakang. Naya juga menyadari kalau ia ada di kamar yang berada di lantai dua. Lah? Siapa yang angkat gue ke lantai atas? Jangan bilang dia lagi, batin Naya.

"Iya, gue yang gendong lo," jawab Gio seakan tau apa yang sedang Naya pikirkan.

"Eh." Naya tersentak.

"Udah tenang aja, gue gak ngapa-ngapain kok." Naya mengangguk saja, ia berpikir kalau Gio adiknya Gilang,  pasti Gio juga laki-laki yang baik. Seperti kakaknya.

Sesampai di rumah Naya, Gio langsung pamit, sebelum itu dia berucap bahwa besok akan datang ke sini lagi untuk menjemput Naya agar berangkat sekolah bersama.

Naya tidak bisa menolak karena Gio membujuknya dengan seribu satu alasan. Mau tak mau akhirnya Naya menyetujuinya.

***

Alunan musik dangdut Roma Irama mengalun di sebuah gedung tua, apalagi kalau bukan markas kebanggaan The Cobra, musik itu diputar oleh salah satu anak The Cobra, di sana ada Devon dan anak-anak anggota lainnya yang sedang bernyanyi saling bersahutan.


Sesaat, musik itu terhenti ketika seseorang memasuki ruangan. Bara, laki-laki itu masuk dengan wajah yang nampak sedang memikirkan sesuatu, jaket The Cobra pun sudah ia samping'kan di bahu kirinya.

"Kenapa, Kap?" tanya salah satu anggota yang bernama Hito.

"Ada yang mau gue omongin." Semua anggota langsung duduk di tempat yang bisa di duduki.

"Masuk," ucap Bara, tak lama seseorang datang, semua anak The Cobra nampak saling berbisik-bisik satu sama lain.

Laki-laki itu berjalan menghampiri Bara.

"Kenalin diri Lo!" pinta Bara. Laki-laki itu mengangguk. Matanya ia memandang semua anggota yang diperkirakan hanya sekitar lima puluh orang, selainnya mungkin tidak berkumpul di sini.

"Gue Gio, adeknya Bang Gilang."

Devan, Devon maupun Adit mengangguk pelan, karena mereka sudah mengetahui itu. Sedangkan yang lain masih menunggu kelanjutan dari ucapan Gio barusan.

"Gue kesini cuma mau ngasih kabar, mungkin ini akan menjadi kabar buruk bagi kita semua." Bara menghela nafas setelah Gio berucap. Bara memang sudah tau sebelum ia kesini, tadi dirinya tak sengaja bertemu dengan Gio di jalan, di situ Gio langsung menceritakan semuanya.

Awalnya Bara sangat terkejut, kenapa berita sepenting itu ia tidak tau, ketua macam apa itu yang tidak tau kabar orang yang paling dihormati wilayah The Cobra.

"Kabar apa'an?" celutuk Devan, bingung.

"Kabar apa, Bang?" tanya Satria yang juga penasaran.

Gio menarik nafas dalam lalu mengembuskannya. "Bang Gilang, meninggal, dia emang punya penyakit kanker darah yang menurun dari Bunda." Semua menatap tidak percaya.

"Gak usah bohong deh, Gi!" ucap Devon, membantah.

"Gue serius!"

Semuanya spontan menundukan kepalanya, ada rasa sedih di hati mereka masing -masing. Bara berdiri dari duduknya.

"Kita ke makam Bang Gilang sekarang!"

.
.
.
.

Bersambung.

ANAYA (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang