TYPO BERTEBARAN!
.
.
."YO... RIOOO???" teriak seorang laki-laki yang mempunyai rambut gondrong itu.
"Pa'an si, Ben, berisik tau gak!" jawab David yang sedang merebahkan diri di sebuah bangku kayu yang panjang. Matanya terpejam dengan earphone yang bertengger di telinganya.
"Rio mana?" tanya Beno lagi dengan nada ngegas.
"Gak tau," balas David.
"Kenapa nyari gue?" Tiba-tiba datang seorang laki-laki sambil memakan satu potong kue bolu dengan santai, kemudian laki-laki itu duduk di samping David yang masih setia rebahan.
"Anak TC lagi berduka!!" heboh Beno lagi.
Rio yang masih mengunyah kue bolu tadi langsung menelannya kasar. "Kenapa?" tanya Rio.
"Bang Gilang, katanya...dia udah meninggal." Rio terdiam, Gilang?
"Kita susul, tapi dari jauh, jangan sampai anak The Cobra tau," ucap Rio lalu beranjak dari tempat duduknya, David yang tadi rebahan pun juga sudah duduk sambil menatap Beno penuh tanya, mereka berdua memang tidak terlalu kenal dengan yang namanya Gilang. Walau begitu mereka berdua tetap mengikuti kemana Rio pergi.
***
Sekitar enam puluhan orang berbaju hitam mengunjungi sebuah makam yang berisi pemimpin pertama meraka, dia adalah Derlano Gilang Mahendra.
Di barisan bagian depan terdapat Bara, Gio dan tim inti lainnya, sisanya anak-anak The Cobra yang hanya melihat dari jarak jauh saja. Banyak anggota baru The Cobra yang tidak terlalu mengenal Gilang, jadi, mereka hanya berhadir untuk sekedar penghormatan.
Bara berjongkok untuk menaruh sebuket bunga yang ia beli sebelumnya, begitupun dengan Gio. Tangan Gio perlahan mengusap nisan yang masih belum bertulisakan apa-apa itu.
"Bang, yang tenang ya di sana, gue dan yang lain bakal nge-do'ain lo," lirih Gio, mungkin hanya di dengar oleh Bara yang berada di dekatnya. Gio kembali mengusap nisan itu, hatinya selalu berkata kalau ini semua adalah mimpi buruk.
Devon segera menyingkirkan diri, laki-laki itu tidak kuat melihat pemandangan di depannya, beberapa tetes air mata pun sudah turun dari pipinya, hanya Devon dan tim inti lah orang yang paling dekat dengan Gilang.
"Gue bakal inget pesen lo, Bang," kata Bara, ia masih mengingat pesan yang disampaikan Gilang sebelum pergi dari dunia ini.
"Gue minta jagain dia."
Kata-kata itu akan selalu diingat Bara. Bukan karena permintaan Gilang sepenuhnya, tapi keinginan itu murni dari hati Bara sendiri, sepertinya Bara sudah menyadari rasa yang ada di hatinya pada gadis itu.
Di jauh tempat, terdapat tiga orang laki-laki yang juga menatap ke arah The Cobra, satu di antaranya merasakan sesak di hati, walau bagaimanapun orang yang pergi itu adalah orang terdekat sekaligus pemimpinnya dahulu.
"Maaf, Bang Gilang.." lirihnya.
***
Sepulang dari makam Gilang, Bara dan yang lainnya kembali menuju markas, kecuali Gio. Sekarang laki-laki itu berada di sebuh rumah yang pernah ia kunjungi.
Dirinya ingin mengetuk pintu namun ragu lebih menguasai, kalau bukan karena amanah dari seseorang, Gio sudah pulang sedari tadi.
Laki-laki itu menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya secara berulang-ulang, akhirnya Gio memberanikan diri untuk mengetuk pintu.
Tok tok tok
Tidak ada sahutan.
Tok tok tok
Lima menit berlalu tetap tidak ada yang menyahut atau pun membukakan pintu. Disaat Gio ingin beranjak pergi, pintu itu terbuka dan memperlihatkan seorang gadis dengan handuk yang melilit di rambutnya. Harum sabun menyeruak memenuhi indra penciuman Gio.
"Eh Kak Gio?" Gio mengerjapkan matanya saat Naya menyebutnya dengan embel-embel 'kak'
"Masuk dulu," pintanya.
Tanpa bicara apapun Gio memasuki rumah Naya.
"Mau minum apa?"
"A-a-anu."
"Apa?"
Sial!! Gue kenapa jadi gugup gini! Batin Gio menjerit.
"Air putih aja," jawabnya setelah terdiam.
Naya mulai beranjak pergi menuju dapur untuk mengambilkan segelas air putih. Tak lama ia kembali lalu menaruh segelas air itu ke meja yang ada di sana.
"Diminum dulu," suruhnya yang langsung dilaksakan oleh Gio, Gio menegak segelas air putih itu hingga tak bersisa.
Gadis itu tersenyum kikuk saat Gio menatapnya dengan tatapan kosong.
"Ke-kenapa?" tanyanya hati-hati."Enggak," ucap Gio biasa saja.
Gio masih berpikir apakah ini waktu yang tepat untuk memberikan sebuah benda tipis itu? Gio juga takut jikalau Naya akan kembali bersedih, melihat gadis itu menangis hati Gio ikut merasakan sakitnya.
Naya melepaskan lilitan handuk yang ada di kepalanya tadi, lalu berucap. "Em gue naruh handuk ini dulu, ya," ujarnya.
Setelah kepergian Naya, Gio memijat pelipisnya sendiri, ia sungguh pusing sekarang, apalagi perutnya belum terisi makanan apapun dari tadi siang.
Gio berdiri dari duduknya sambil mondar-mandir di ruang tamu itu. "Kenapa, Kak?" Gio menoleh ke arah asal suara dan mendapati Naya, dengan langkah pelan Gio berjalan mendekatinya.
"Ada sesuatu buat lo!" ujarnya sambil merogoh kantong celananya.
Sebuah amplop pink yang sudah lusuh akibat remasan tangannya pada waktu itu kini ia ulurkan ke hadapan Naya. Gadis itu mengernyit tak mengerti.
"Ini buat lo!" Dengan ragu Naya menerima amplop itu, tapi, ketika ia melihat ujung dari amplop itu matanya langsung berkaca kaca.
Sangat jelas di sana tertulis nama dirinya, Anaya Putri Katania. Bukan karena nama itu yang membuatnya sedih, tapi karena sebuah tulisan yang sangat teramat ia kenali.
Itu adalah tulisan tangan dari Derlano Gilang Mahendra. Gegenya Naya.
***
Cerita ini mungkin GAK DILANJUTIN LAGI gais. (HIATUS)
Mending kalian baca cerita aku yg lainnya aja, silakan cek akun aku ya. Kalo mau follow juga boleh xixixi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAYA (HIATUS)
Teen FictionCERITA INI TIDAK DILANJUTKAN!! Dengan jangka waktu yg belum diketahui. (Dibuat sebelum tau tentang KBBI, EYD, PUEBI atau penulisan yg benar, harap maklum!) . . . "Rio! Rio! Kalo lo bisa masukin tuh bola dalam satu kali lompatan, gue cium lo!" Rio ya...