Chapter 12

199 30 0
                                    

Happy reading

***

Zigar tersenyum pada dokter Sofyan. Berkat pria itu, sakit dikepalanya bisa berkurang dengan pemberian resep obat.

Dokter Sofyan adalah adik kandung Bara. Lelaki itu sangat ramah dan murah senyum. Tabiatnya sangat cocok dengan profesi yang dijalaninya sekarang.

“Gimana, Dek? Panasnya Zigar udah stabil?” Bara menatap Sofyan untuk meminta penjelasan.

“Udah lumayan, Kak. Nggak kayak tadi pagi.”

Zigar bersender pada tumpukan bantal. Sejak tadi dia tidak melihat penampakan Melodi. Zigar berasumsi kalau cewek itu pasti ogah bertemu dengannya setelah apa yang terjadi tadi pagi.

Sofyan mengecek jam tangannya. Beberapa menit lagi tepat pukul sepuluh. “Kak, aku mau pulang dulu. Kasihan Nada kelamaan nunggu di rumah.”

“Titip salam sama Nada, bilang ke dia kalau Omnya rindu berat.”

Sofyan menepuk pundak sang kakak. “Iya, nanti aku bilang sama dia. Aku pamit dulu, ya, Kak.”

Kini, hanya ada Bara dan Zigar. Suasananya damai tanpa adanya suara-suara lain yang mengganggu. Sejenak, Bara mengamati barang apa saja yang menghuni kamar Zigar.

Tidak terlalu banyak. Sangat simpel, sesuai dengan karakteristik laki-laki pada umumnya. Zigar mempunyai speaker di samping tempat tidur, benda itu menjadi pemacu Melodi mengoceh. Sebenarnya, Melodi tidak suka dengan lagu yang diputar Zigar.

“Kamu udah enakan, Nak?” Bara duduk di samping Zigar. Tatapannya teduh. Bara menyayangi Zigar seperti anak sendiri, tidak jauh berbeda dengan Melodi.

“Iya, Om. Kepala aku udah nggak terlalu pusing.”

“Kamu kenapa bisa sakit?”

“Kehujanan, Om.”

“Ah … kehujanan?” Bara mengangguk kecil. Menyinggung soal hujan, Bara teringat dengan masa mudanya. Dulu ketika masih SMA, dia juga pernah sakit karena kehujanan. Ya, kehujanan karena lebih mementingkan seseorang.

Zigar ingin menguap, namun sebisa mungkin untuk menahannya. Bara masih betah untuk bercengkrama. Tak mungkin juga kalau Zigar mengusir dengan cara halus sekalipun.

“Kamu ingetin Om waktu masih muda dulu.”

Zigar menegakkan tubuhnya.

“Kamu tahu? Om pernah kehujanan karena ngasih payung ke cewek yang Om suka.”

Zigar menyunggingkan senyumnya. “Siapa, Om?”

“Yang jadi istri Om sekarang.”

Kantuk yang tadinya mendera perlahan menguap. Zigar selalu penasaran dengan kisah cinta orang dewasa. Zigar ingin tahu apa saja yang mereka korbankan untuk mendapatkan perhatian sang pujaan. Siapa tahu itu bisa menambah ilmunya agar tidak salah memilih pasangan hidup.

“Om dulunya pacaran sama tante nggak?”

Bara menggeleng. “Nggak. Om nggak pernah nembak dia, kami tahunya kalau kita saling sayang. Udah gitu doang.”

Zigar mengerjap beberapa kali. Heran.

“Om boleh nanya sesuatu?”

“Apa, Om?”

“Kamu udah dua tahun tinggal di sini, bisa dibilang kalau masa puber kamu juga di sini. Kamu ada perasaan sama cewek lain nggak?”

Zigar menunduk malu. Belum pernah dia mendapatkan pertanyaan seperti itu dari orang dewasa. Zigar tidak pernah membahas soal cinta bersama kedua orang tuanya. Yang ada Zigar berceloteh mengenai sahabat-sahabat yang sangat disayanginya.

The FAKE Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang