Chapter 22

247 37 2
                                    

Happy reading

***

Zigar menyeka air matanya. Genggaman tangan dipererat. Di depannya terbaring seorang pria ditemani alat bantu pernapasan. Dia adalah ayah Zigar, sosok yang paling berpengaruh di dalam hidupnya.

“Ayah….” Air mata kembali mengalir. Zigar benci dengan keadaan yang ada, dia tidak mau melihat orang terkasihnya terluka. Zigar sanggup berganti posisi.

“Nak, kamu makan dulu.” Yuri mengelus rambut anaknya. Sudah beberapa kali dia mencoba untuk membujuk. Sejak kedatangannya, dia belum pernah menyentuh makanan.

Bara ikut prihatian, teman semasa SMA-nya benar-benar lemah. Enzo mendapat lima jahitan di kepalanya, lengannya patah, kemungkinan besar kaki kirinya tidak bisa berjalan baik.

Kecelakaan itu terjadi bukan karena kesalahan ayah Zigar. Dia berada di jalur yang benar, tetapi salah satu pengendara melawan arus dan akhirnya saling bertabrakan. Mobil menabrak pembatas jalan dan masuk ke dalam jurang.

“Zigar, udah nangisnya….” Yuri resah. Kepalanya pusing mengingat Zigar makin tak terkontrol.

Zigar bukan cowok yang cengeng. Saat terluka dia tidak akan menitikkan air mata. Dia tidak akan mengeluh kesakitan ketika terjatuh. Sama sekali tidak. Tetapi air mata itu akan mengucur deras karena sakit hati. Tak boleh satu hal pun menyakiti apa yang dicintainya.

“Ayah kapan bangunnya, Bu?” Zigar menerawang, berharap ada pergerakan kecil yang bisa membuatnya bernapas lebih bebas.

“Kamu sabar, Ayah pasti bangun.”

“Tapi kapan, Bu? Aku nggak mau makan kalau Ayah belum bangun. Pokoknya aku nggak mau ninggalin Ayah!”

Yuri menatap Bara meminta bantuan. Tanpa menunggu lama Bara langsung bertindak.

“Zigar.” Bara duduk di sebalah kanan, menatap lurus. Zigar pun tak kuasa menahan rasa sakitnya, dia menunduk. “Om tahu kamu terpukul banget.”

“Aku … aku ngerasa bersalah banget sama Ayah, Om. Aku pulangnya kalau ada apa-apa, aku juga akhir-akhir ini jarang ngabarin.”

“Kan kamu sekolah.”

Zigar sesenggukan. Perutnya mulai perih. Selama perjalanan dia enggan menerima semua jenis makanan. Bahkan untuk minum air, rasanya sangat susah.

“Zigar, jangan hakimin diri kamu sendiri. Kalau kamu sakit, Ibu sama Ayah kamu nanti sedih.”

“Aku nggak nafsu makan, Om.”

“Tapi kamu lapar, kan?”

Zigar mendongak, pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya kekurangan energi.

“Zigar, kamu pucat.” Bara sigap mengambil roti yang telah disiapkan Yuri. Kali ini dia akan tegas. Memaksa demi kebaikan tidak terdengar buruk. “Kamu makan, ayo.”

“Tapi….”

“Ayo, makan! Kalau Melodi di sini, dia pasti sedih juga, mungkin bisa nangis.”

Zigar menerima roti itu, menggigitnya sekali.

Yuri tersenyum puas. “Melodi sama Zigar deket, ya? Zigar akhirnya mau makan dengar namanya.”

Zigar tidak mau membahas itu dulu. Hubungannya dengan Melodi belum bisa dikatakan akur. Perdebatan masih terus terjadi meski tidak seekstrem dulu.

“Mereka baik, kok.” Bara tidak memberikan penjelasan secara rinci. Yuri bisa tidak enak hati dan jadi beban dalam pikirannya.

“Bagus kalau gitu.”

The FAKE Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang