VII

48 7 0
                                    

Preview

Preview

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Hello, I am the happiness fairy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hello, I am the happiness fairy. I’ve sprinkled happy dust on you. Now smile dammit this shit is expensive.” Jimin berdehem. “Agak gila tapi aku rindu senyum kotak dan tanganmu yang selalu menggodaku, kau mendengarku, ‘kan? Begini, mereka tak membiarkan aku pulang secepat itu, sial sekali saat menjalani pemeriksaan mereka masih saja menemukan masalah di kakiku. Tak apa deh, kau selalu menyuruhku istirahat jadi untuk saat ini aku menurutimu, jadi sekarang punya banyak waktu untukmu.”

Jimin merapatkan selimutnya.

“Aku menemukan kata-kata ini di internet, ‘Aku mengerti jika kau mau berhenti, aku mengerti jika kau harus meninggalkan kami. Tak apa jika kau mau berhenti berjuang, tapi satu hal penting kehadiranmu selalu kami tunggu’ Aku langsung teringat dirimu. Aku tahu itu hanya omong kosong tapi… jika kau berpikir begitu apa yang bisa kulakukan?” Jimin meringis, “Jika benar, aku akan berusaha tak mengerti, aku takkan pernah ingin mengerti.”

Shit Jimin don’t say such things.” Benar sekali, aku berusaha keras menahan air mata tembus pandang ini yang bahkan tak bisa ku singkap.

“Menangislah Kim Taehyung, menangislah.”

Sifat menyebalkan Dorothy mungkin yang membuatnya menjadi malaikat maut. Dia benar-benar menyebalkan jika kalian tahu, bahkan lebih menyebalkan dari yang kalian tahu. Dorothy malah menambah runyam perasaanku dan kalau dalan film dia bisa disebut sebagai perusak suasana. Malaikat gadungan menyebalkan.

“Kau tak bisa memusuhiku. Jika iya, kau salah memilih musuh.”

“Diam Dorothy, kau tak tahu perasaanku setelah kehilangan sesuatu dari kenanganku. Ternyata lebih menyakitkan dari yang kuduga.”

“Aku mengerti, kok.”

Aku menoleh. Apa benar waktu aku berpikir bahwa setelah aku membentaknya ingatannya sebagai manusia akan kembali? Bagaimanapun juga Dorothy dulunya manusia—katanya—walau aku masih tak percaya, tapi kalau dari wujudnya masih masuk akal kalau dia bilang ‘aku pernah makan dan minum, aku juga pernah taking a shit’ hal semacam itu. Karena itu adalah sebuah keyakinan kalau aku mengatakan “Apa kau mengingat dirimu sebagai manusia sekarang?” adalah benar.

Dorothy hanya mengangkat bahu. “Sebenarnya bukan tak ingat, hanya saja semakin terkubur dalam dengan penderitaan-penderitaan orang lain yang kulihat.”

Keningku sedikit mengerut, setidaknya sebanding dengan aku melihat Dorothy yang menunjukkan sesuatu pada wajah pucatnya. Dirinya yang seperti biasa duduk diatas alat EKG terlihat mengayunkan kakinya, jari-jarinya mengetuk di samping tubuhnya. Ujung matanya yang selalu naik kini aku tak melihatnya, ia seperti menggigit bibir dalamnya dan terlihat ragu? “Ada yang ingin kau katakan?”

Tentu saja setelah itu aku mengutuk diriku, sejak kapan aku peduli padanya?! Apa benar kata semua orang kalau aku terlalu baik pada wanita? Apa aku harus bersikap lebih tak acuh lagi pada wanita? Tentu tidak. Namun, apa empati pada malaikat maut sebuah hal yang bisa dibanggakan? Aku bahan berpikir jika aku keluar dari sini dan menceritakan semua kejadian diluar nalar ini maka semua orang akan menganggapku gila, jadi tak ada yang bisa dibanggakan.

“Kim Taehyung, kau mau lihat ceritaku?” katanya.

“Melihat?”

Aku yang sedang meringkuk  di sofa langsung terkesiap berdiri ketika semua tempat berubah menjadi sebuah ruangan dengan banyak rak dan etalase yang dipenuhi makanan ringan, bir, dan kue. Dorothy membawaku ke minimarket. Aku tak mengerti mengapa ia harus membawaku kesini. Sebenarnya ada dua hal yang kukhawatirkan, ingatanku semakin terhapus dan aku yang melebihi batas. “Ini hanya dunia ilusi, ingatanmu takkan terhapus.” Ia membalas pikiranku.

Aku mengiyakan saja, sekali lagi mengutuk diri sendiri Karena mempercayai perkataan Dorothy, padahal sedari awal aku menekankan bahwa apapun yang dikatakan malaikat maut ini aku takkan mempercayainya.

Tapi sedari tadi aku memantung, hanya ada seorang gadis yang sedang bekerja paruh waktu disana. Berjaga sambil suntuk, aku sangat mengerti karena ini jam tidur bagi pelajar. Kemudian yang baru kusadari bahwa wajah itu tak asing, hanya saja bentukannya lebih manusiawi dengan kulit yang tak kekurangan saturasi dan rona merah pada pipinya. “Itu dirimu?” walau aku bertanya begitu Dorothy tetap diam dan menatap gadis itu—yang kusimpulkan dirinya—dalam diam.

Tak lama gerombolan remaja datang dan melempar banyak kertas-kertas yang sudah di remas sedemikian rupa ke wajah gadis itu. “Nih lihat! Banyak yang mengirim surat cinta untukmu di kampus haha!” Kata salah satu dari remaja itu. “Jika kau membalasnya kau akan kuhajar di depan orang yang kau suka, jadi menjauh oke?” Gadis itu tertawa sarkas. “Teman-teman ambil camilan, malam ini Gyeong Hasun yang bayar!”

Miris sekali. Aku kembali menoleh ke arah Dorothy, dia masih diam. “Dorothy, kau mengalami semua ini?” Walaupun otakku memerintah untuk memberontak, tapi hati kecilku tetap melawan seluruh logika. Aku bertanya dengan hati-hati padanya, karena yang saat ini kulihat adalah Dorothy—Gyeong Hasun si manusia yang menderita.

Dorothy menatap mataku dalam, seakan tehipnotis kami sudah berada di tempat lain. Aku melihat Gyeong Hasun yang tengah berjalan di gang sepi yang sepertinya menuju rumahnya, saat itulah ponselnya berdering.

Hasun, malam ini kau sudah berusia 20 tahun. Ayah sudah mengirimu uang, lakukanlah apa yang kau mau agar anak-anak itu tak merendahkanmu lagi.”

“Ayah sudah kubilang aku takkan membiarkan mereka mempengaruhiku. Ayah juga jangan terpancing mereka. Memangnya ayah suka diteriaki tunawisma di hadapan banyak orang?”

Nak, Ayah baik-baik saja. Sudah cukup, nikmati saja malam spesialmu, ya?

Setelah itu telepon terputus. Namun, yang terjadi selanjutnya diluar dugaanku. Semua tempat berubah menjadi gelap, hanya ada suara teriakan nyaring seorang gadis yang kudengar. Tak seperti teriakan biasa, tapi sangat mengerikan dan bahkan aku bisa memastikan apa yang terjadi ketika aku mendengar ayunan benda tajam yang membelah udara hingga cipratan sesuatu yang kental.

Sepertinya sarafku mulai terganggu, pada saat seperti ini aku tak terusik sama sekali. Bahkan pada saat di depan mataku aku melihat seorang gadis yang memegang pisau daging penuh darah manusia yang pernah merendahkannya, dan mata hawa membunuh yang selalu ku jumpai setiap hari, aku tak merasa gugup atau gemetar ketakutan. Ini…yang pernah di perbuatnya dulu? Lebih mengerikan daripada yang dilakukan seorang remaja yang baru saja legal.

Lalu selanjutnya saat semuanya jelas, aku berada di atap. Gedung apartemen yang tak terlalu tinggi ini menjadi tempat dimana aku menyaksikan Gyeong Hasun menyayat lehernya dengan pecahan beling dan terjatuh, terjun bebas dari atap.

Tapi seletah itu, Dorothy membawaku kembali pada kenyataan. Setelah melihat tubuhku yang tenang sepertinya aku tak dalam kondisi kritis—seperti detak jantung tak karuan atau napas yang sempat terhenti—yang gawat. Jadi untuk kali ini saja aku percaya bahwa dorothy memang hanya membawaku pada dunia ilusi.

“Dorothy, kuharap suatu saat aku akan mengerti dirimu.”

Wajah Dorothy awalnya membelakangiku. Saat ia berbalik dan menatapku, matanya penuh dengan air mata.

GWTN II; Phantom ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang