D&I (VII)

79 12 4
                                    

2. Sok Kenal Sok Dekat

🌠🌠🌠

"Coba lo samperin sono! Pura-pura tanyain tugas apa gitu, atau basa-basi kek lagi baca buku apa dianya."

Hari Senin, tepat setelah upacara selesai—aku memutuskan untuk memulai misi pendekatanku pada seorang cowok bernama Iqbal.

Zahra telah membisikkan beberapa instruksi. Itu tandanya, aku juga harus bersiap untuk mulai bergerak.

Sebenarnya lumayan gugup, apalagi niatku kali ini benar-benar ada maksud tertentu. Ya, apalagi kalau bukan modus.

"Keep calm, baby. Gue pasti bisa!" Ucapku menyemangati diri sendiri.

Kulihat jari-jari cowok itu dengan perlahan membolak-balikkan kertas buku yang sedang ia pegang. Iqbal memang sudah sehidup-semati dengan bukunya, tak heran di manapun ia berada selalu ditemani oleh benda persegi tersebut.

Jantungku makin berdebar, sejalan dengan jarakku juga yang semakin dekat dengan bangku tempat ia duduk.

"Iqbal," panggilku dari samping.

ASDFGHJKL!

Perasaanku tak karuan. Panik, senang, gugup—pokoknya semua tercampur menjadi satu.

Iqbal yang mendengar suaraku tersebut spontan mengalihkan pandangannya. Aku menelan ludah begitu melihat wajah sempurnanya dari dekat.

Hidung mancung, alis tebal, rahang yang tajam—sudah, mari kita cukupkan. Jika mau membahas kesempurnaan pada diri Iqbal mungkin bisa kuciptakan satu buku sendiri.

Sebenarnya, aku tak menyangka respon Iqbal saat ini. Ia terkejut begitu melihat orang di sampingnya.

Apa wajahku semenakutkan itu? Padahal masih lebih cakep loh dari mbak kunti.

Bercanda.

"D-Davina."

Tuh, kan! Selain ekspresinya yang terlihat kaget, ternyata ia juga berbicara terbata-bata. Sumpah, harusnya aku yang seperti itu karena akulah orang yang menyukainya—otomatis akulah yang seharusnya gugup.

"Gue mau nanya sesuatu boleh?"

Bacot, Davina. Bacot.

Padahal mau modus, malah sok beralibi nanya. Ya, setidaknya aku sudah mencoba. Kalau tidak begini mau sampai Roro Jonggrang nerima Bandung Bondowoso juga gak bakal bisa aku dekat dengannya.

"Boleh. Nanya apa?" Balas Iqbal dengan suara khasnya yang berat tapi tetap membuatku klepek-klepek.

Ia tak tersenyum, seperti biasanya. Cowok itu tetap menatap lawan bicaranya dengan datar. Untunglah aku sudah menyadari sikapnya yang satu ini.

Dengan Chika pun—teman yang dekat dengannya, Iqbal juga jarang tersenyum. Berarti aku tak perlu merasa sedih karena ia berlaku begitu kepada semua orang. Rasakan!

"Udah ngerjain tugas yang dikasih Bu Sri belum? Sebenarnya udah dijelasin sih pas pelajaran biologi kemarin, tapi otak gue gak nyampe makanya masih bingung. Kalau boleh... lo bisa ajarin ga?"

Oh yes, baby! Untung saja pikiranku begitu cerdas. Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Yang benar saja cuma nanya? Sekalian minta ajarin lah!

Ya... kalau Iqbal mau sih.

Cowok itu terlihat mengangguk tanpa ragu. "Boleh. Lo masih bingung bagian mana?"

Nah, sesuai harapan!

"Persilangan dihibrid. Sebenarnya gue gak ada niat nyontek kok, beneran pengin tahu aja cara nyelesainnya. Maaf ya, Bal."

Ya iyalah, bego! Yang benar saja baru pendekatan ke doi malah bikin dia ngasih first impression yang buruk ke kita.

"Tahu kok. Lagian gue juga seneng bisa ngajarin orang, Dav."

🌠🌠🌠

Makin lama makin santai aja bahasa yang autor pake buat cerita wkwkwk...

Oh ya janlup vote & komennya gaisss 😊


Lembaran KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang