21. Awan Story

19 3 0
                                    

Di dalam sebuah mobil pajero hitam milik Awan, kini terdapat dua anak manusia yang terdiam dalam keheningan. Entah sedang gugup atau malah hanyut dalam fikiran masing-masing.

Hingga beberapa saat kemudian, mobil hitam milik Awan berhenti di kompleks rumah-rumah tripleks mungil. Sementara Atau hanya dapat membelalakkan matanya takjub. Kompleks itu memang bukan sebuah kawasan real estate dengan gedung-gedung megah beraksitektur modern yang dilengkapi dengan lapangan tenis, juga bukan sebuah apartemen dengan fasilitas nomor satu. Kompleks itu hanya kumpulan sekitar 40 rumah. Tetapi deretan bangunan trapesium yang terpajang rapi, dengan jalan setapak yang bersih berpagar bambu dengan tanaman hias yang terawat rapi itu. Benar benar membuat gadis manis itu menganga tak percaya. Bagaimana tidak, bagaimana bisa ada kumpulan bangunan sederhana dan indah itu ditengah ibu kota yang sumpek.

Awan yang sedari tadi memperhatikan Ataila yang sedang terlena itupun tersenyum tipis. Entah akhir-akhir ini ia sering sekali tersenyum, membuatnya kadang merasa aneh dengan dirinya sendiri.

"Udah acara kagum-kagumnya?"

Ataila yang sedari tadi menganga takjub itu pun tersadar dan segera menoleh ke arah Awan dengan pipi yang merah merona malu.

"Sumpah ini keren banget" ucapnya girang, setelah berhasil meredakan rasa malunya.

"Kenapa?" Tanya Awan memancing.

Ataila pun dengan segera menengok ke arah Awan lagi. Jangan lupakan senyum manisnya yang kadang membuat Awan frustrasi melihatnya. Fix mulai berlebihan.

"Aku cuma nggak percaya di tengah kota besar ada perkampungan kecil yang waow masih asri" jawabnya tanpa memudarkan senyum miliknya.

"Langkah bangetkan?" Tanyanya lagi. Membuat Awan yang sedari tadi memperhatikannya jadi gelagapan sendiri.

"Ii..iya"

Mereka berjalan beriringan, dengan Ataila yang tak henti berdecak kagum dengan apa yang kini dilihatnya. Mengabaikan pandangan orang-orang sekitar yang memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.

Tiba-tiba segerombolan anak-anak berusia sekitar 4 - 12 tahun berlari menghampiri mereka. Tepatnya Awan.

Awan yang mendapat serangan dadakan tersebut hanya mampu tersenyum dan membalas pelukan mereka satu persatu.

Ataila yang melihat pemandangan tersebut hanya dapat berdiri kaku menyaksikan interaksi anak anak itu dengan Awan es yang kini kelihatan hangat. Emang ada?

"Bang Awan, kok baru datang sih? Kita kan kangen" ucap salah satu dari mereka yang bertubuh bongsor.

"Abang baru sempat. Maaf yah" ucap Awan sambil mengacak-acak rambut anak tersebut.

"Bang Gazza sama Bang Gidlan mana bang?" Tanya si gadis cilik berkepang dua yang masih belum bisa menyebut huruf "R".

"Bang, nanti kita main layangan yuk!"

"Bang bang Adit Udah bisa naik sepeda"

"Mica juga Udah pintal baca"

"Aku juga bang"

"Aku juga"

Anak-anak itu dengan begitu semangatnya menceritakan semua pengalaman mereka, bahkan berebutan untuk bisa agar bisa mendapat perhatian dari abang tersayang mereka. Siapa lagi kalau bukan Awan.

Awan sedari tadi hanya tersenyum menanggapi celotehan anak anak itu, sambil sesekali melirik Ataila yang tampaknya terkejut melihat interkasinya dengan anak-anak. Siapa pula yang tidak terkejut.  Seorang lelaki yang selama ini sering memasang muka data, begitu hemat kosakata, dingin dan cuek. Kini tengah memasang sikap yang 180 derajat berbanding terbalik.

Awan Dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang