8. Pilot

45 18 2
                                    

Malam yang sepi. Kutatap bulan yang tetap bersinar dengan manisnya. Bintang bertebaran. Terkadang ada kelip-kelip pesawat terbang yang selalu membuat geger anak kecil.

“Pak Pilot, Pak Pilot, aku ingin ikut.”

“Dadaaah Pak Pilot.”

Begitulah sekiranya yang mereka teriakan ketika ada pesawat terbang melintas. Walau mereka semua tahu bahwa Sang Pak Pilot tak mungkin mendengar apa yang mereka teriakan.

Ah, Pak Pilot.

Impian dia. Mengingatkan akan seseorang yang sekarang sudah pergi.
Begitu jauh. Bahkan sampai sekarang aku pun merindukan kejahilannya. Walau kejadian itu sudah terjadi
sekian tahun lamanya.

“Kamu itu, kerjaannya ngabisin duit aja,” ujar ibu sambil melayangkan sapu pada dia.

“Ampun, Bu. Janji nggak bakal kayak gitu lagi. Beneran, Bu,” ujarnya.

“Kalau sekolah tu yang bener. Biar bisa jadi pilot. Nggak usah pulang-pulang mulu. Kamu kira nggak pake ongkos apa kalau jemput kamu.” Ibu bersungut-sungut.

Dia hanya pasrah.

Usai dimarahi ibu, dia ke kamarnya.
Dia tak keluar hingga makan malam tiba. Aku merasa kasihan. Aku bawakan saja makanan untuknya. Kuketuk kamarnya. Dia membukakannya.

Aku merasa lega. Sempat terpikir olehku yang tidak-tidak. Dia tersenyum. Aku menyodorkan makanan
yang kubawa. Aku duduk di ranjangnya. Dia mulai melahap makanannya.
Aku mengedarkan pandanganku. Kulihat satu koper, satu tas tertata rapi di dekat pintu kamar.

“Kakak mau kembali lagi ke asrama?” tanyaku memberanikan diri.

“Iya dong. Masa ke rumah mertua.” Dira tertawa.

“Udah sana, balik kamar. Belajar yang
bener. Jangan jadi kayak kakak,” ujarnya sambil mengacak rambutku.

Aku pun kembali ke kamarku. Sebenarnya aku lebih memilih dia untuk tetap tinggal di rumah. Walaupun dia sering menjahiliku, sering membuat onar di rumah, sering nakal dan menciptakan berbagai masalah, aku selalu merindukannya.

Dia berangkat ke asrama keesokan harinya.

Dia melambaikan tangan kepada ibuku, ayahku, dan aku. Walau ibuku berwajah masam. Dia tetap tertawa dan tersenyum. Ternyata itu adalah hari terakhirku melihat senyum dan tawanya.

Dia tak pernah pulang sejak hari itu.
Walau libur hari raya pun di tak pulang. Tapi, dia rutin mengirim kabar kepada kami. Mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Selang satu bulan kemudian, ketika selepas maghrib, sebuah mobil jenazah datang ke rumahku. Membawa jasad
dia yang sudah terbujur kaku tak lagi bernyawa. Kami semua menangis. Terutama ibuku.

Temannya membawakan sebuah surat untuk kami. Yang isinya membuat kami semua lebih sedih. Kami yang selalu gagal memahaminya. Dia ternyata selama ini sakit. Dia selalu merengek minta pulang karena dia tahu umurnya tak panjang tuk selalu bersama keluarganya.

Yang lebih menyakitkan, selama dia tak pernah pulang, ternyata dia koma di rumah sakit.

Dan yang mengirim kabar kepada kami adalah temannya. Dia yang memintanya agar berbohong.

Sesak. Kurasakan pipiku basah. Mengingat dia. Ingin sekali bertemu lagi. Tapi mustahil. Hanya takdir yang tahu.

CERMIN by. Aqidatis
Batang, 28 Juni 2020

Bahana Rasa [ Completed ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang