30. Luka Akhir Juni

21 5 0
                                    

Di sebuah kamar terlihat dara manis sedang menenggelamkan wajahnya di antara lembar novel. Bukannya dibaca justru digunakan untuk menutupi wajahnya. Ya, gadis itu adalah aku.

Setiap hariku—seperti ini. Sunyi dan sepi sudah melekat pada jiwaku. Bahkan, aku tak pernah ke luar jauh dari kamar ini. Rasanya ... seolah aku ini memang diciptakan untuk ditinggalkan—sendirian.

"Ahh," gumamku sembari mengangkat novel yang sedari tadi setia menyentuh wajahku. Aku mengedarkan pandang menyisir setiap sudut kamar.

Ah! Sial. Aku tak bisa melihat apa pun di gelapnya ruangan ini. Kuputuskan untuk menghidupkan damar agar aku bisa melihat di antara redupnya. Sengaja aku membiarkan lampu tetap mati karena aku tak suka dengan cahaya terangnya.

Banyak lembaran kertas yang berserak di lantai. Amplop bermacam warna pun ikut membuat sesak. Sudah sedari tadi aku mengacak semua surat yang kutaruh di dalam kardus. Iya, surat tak bertuan. Mengapa? Karena aku tak menuliskan kepada siapa aku membuat surat itu. Namun, tetap untuk satu orang.

Aku menghela napas dan meraih satu lembar kertas putih, menuliskan dengan tangan lemahku. Lagi dan lagi kutulis tentang asa di diriku. Untuk kamu. Iya, kamu yang dulu pernah singgah di relung hatiku—detik ini pun masih.
Kamu ... laki-laki yang kucintai lebih dari diriku sendiri.

Aku belajar bahwa setiap angan atau harapan kita hanya semu. Tuhan yang menentukan dan memberikan. Sekeras-kerasnya aku berusaha menghindar, justru semakin sulit untuk lupa. Hingga akhirnya berlagak 'tuk lupa. Pura-pura itu sama halnya dengan membodohi diri sendiri.

Aku kembali terfokus pada bolpoin dan kertas di hadapanku. Di bawah damar temaram ini, aku mulai menuliskan surat kesembilan puluh sembilan untuk orang yang sama.

Kepada Yth,
Tuan Revan Pratama di tempat

Apa kabar kamu?

Ini aku, wanita yang kautemani sejak lima tahun yang lalu. Masih ingat, kan? Aku harap kamu menjawab iya.

Kamu tahu? Sejak hari itu—saat kamu menghancurkan hatiku yang sakit. Aku merasa aku tak lagi pantas menghirup udara gratis ini. Sesak. Aku semakin sakit, sakit, dan sakit.

Kali ini aku tak mau mengingat masa lalu, walaupun aku tak bisa menghilangkan satu cm pun kisah kita—dulu. Sudah sembilan puluh sembilan hari kamu tak pernah menelfon, menemani ke rumah sakit, nyuapin, antar-jemput, dan masih banyak lagi.

Kemarin aku sama mama ke dokter katanya, hepatocellular carcinoma sudah masuk stadium akhir.  Hati aku aja bermasalah fatal, jelas tidak bisa memberi atau mendapat cinta, kan? Jadi, selama ini aku hanya memaksa diriku sendiri dan juga kamu. Maafkan aku, karena terlanjur memaksamu 'tuk mencintaiku.

Aku dengar, besok kamu akan menikah. Selamat ya! Aku ikut bahagia. Aku tak menyangka kamu akan mempersunting adik sepupuku. Ya ampun, rencana Tuhan itu tidak bisa diterka, ya?

Sejak kamu meninggalkan aku waktu itu. Aku tersadar, bagaimana bisa kamu hidup menua dengan seorang wanita lemah sepertiku. Memang lebih pantas kamu dengan dia.

Besok kamu akan menjadi imam orang lain, sedangkan aku ... mungkin luka dan ragaku akan sirna di penghujung bulan Juni. Pasti.

Ini ... bukan tentang aku atau kamu, melainkan  tentang aku dan kamu yang tak akan pernah ada—KITA.

Aku pamit 'tuk selamanya.

Salam lukaku,
Lyana Maharani

CERMIN by. LhiaLii
Semarang, 30 Juni 2020

Bahana Rasa [ Completed ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang