"Safa!" teriaknya dan aku masih tidak peduli. Aku tahu betul jika dia tengah berlari di belakangku, tapi aku memang tidak peduli. Dia seharusnya telah pergi.
Jalanan sore ini cukup sepi, udaranya pun sangat dingin. Aku mendongak menatap awan hitam yang menari di atas sana. Sebentar lagi pasti hujan! Ah malasnya, rumahku masih jauh dan berlari untuk menghindari hujan hanya membuatku kelelahan.
"Safa! Tunggu!" Aish, dia masih tidak menyerah mengejarku. Lagipun aku hanya berjalan biasa sejak tadi dan lihat, dia sama sekali tidak bisa menggapaiku.
Langit mulai menangis, membuat tubuhku basah kuyup seketika. Aku duduk sebentar di halte yang terlihat kosong. Aku lelah, jiwa dan raga. Kepalaku tertunduk, dan setetes air jatuh dari sana. Bahuku bergetar menandakan bahwa ini adalah titik terlemahku, aku sudah tidak sanggup lagi. Isakan yang tadi tertahan kini berganti raungan dan teriakan. Hatiku sakit! Hampa! Perih! Rasanya aku sudah tidak memiliki tempat untukku pulang setelah ini.
"Hei kau menangis? Kenapa?" Dia masih mengejarku ternyata. Dengan napas tidak teratur dan wajah bingung, lelaki itu memelukku erat. Berusaha menyalurkan energi miliknya yang sudah hampir habis.
"Bukankah aku sudah bilang? Jangan ikuti aku! Pergi!" Ekspresinya berubah terkejut, ini adalah pertama kali untukku membentaknya. Ardan melerai pelukan kami, lalu menatapku penuh tanya.
"Kenapa, Fa? Aku ingin selalu bersamamu, melindungimu."
"Tidak! Kisah tentang kita telah selesai. Aku dan kamu tak bisa bersama lagi, kau harus pergi" Aku mengakhiri kalimatku dengan tangisan. Sungguh hatiku sakit mengatakannya! Dia adalah separuh jiwaku, hidupku pasti akan terasa hampa setelah ini. Canda dan tawanya tak akan lagi kudengar, tak ada lagi senyuman tulus dari lelaki itu. Safa pasti merindukan Ardannya.
Dia Ardan, hanya itu. Tidak ada nama panjang sesuai dengan usianya yang tidak panjang. Lelaki yang berusia sama denganku, meski seharusnya telah pergi sejak beberapa tahun lalu. Dia terus tinggal di rumahku, melindungiku dari orang-orang jahat di rumah itu. Yang terus menyalahkan aku atas kematian saudara kembarku sendiri.
Ya! Ardan adalah saudara kembarku, kepergiannya cukup memberikan dampak trauma kepadaku. Lalu disaat aku hampir putus asa, dia kembali. Dan saat itu juga ibu dan ayah semakin membenciku, mengatakan jika aku terkena penyakit jiwa. Aku normal! Sungguh! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menyuruhnya pergi, karena dia memang seharusnya sudah pergi.
"Aku pergi, Fa. Jaga dirimu! Ibu dan ayah akan menyayangimu." Ardan berucap untuk terakhir kalinya, sebelum berjalan berbalik meninggalkanku. Mungkin hari ini adalah hari terakhir kami bersama dan aku telah kehilangan dia untuk selamanya.
"Aku pasti merindukanmu." Dia berbalik lalu tersenyum, ah andai aku bisa ikut pergi bersamamu. Membawa semua duka hidupku. Ardan kamu lebih beruntung, kasih sayang ayah dan ibu selalu menyertaimu. Bahkan setelah kepergianmu selama-lamanya. Sungguh! Kau lebih beruntung saudaraku.
CERMIN by. lanila
Kudus, 30 juni 2020