Sudah satu jam Agam menunggu Hani bangun, tetapi belum ada tanda-tanda Hani akan bangun. Agam tidak tega bila harus membangunkan Hani untuk pulang. Wajah Hani terlihat damai dan tenang, ada sedikit raur kecapekan di wajahnya. Agam memutuskan untuk pergi ke resepsionis rumah sakit untuk memindahkan Hani ke ruang rawat inap. Belum sampai Agam membuka pintu UGD, tiba-tiba Hani sudah memanggilnya.
“A-gam...” kata Hani dengan suara serak. Hani berusaha bangun, Agam dengan cepat menuju ke arah Hani dan membantunya bangun.
“Perut lo masih sakit?” tanya Agam. Hani menggeleng, “Tapi gue laper,” ujar Hani sambil tersenyum. Agam pun menghela napasnya dan ikut tersenyum.
“Masih bisa-bisanya lo senyum saat sakit gini.”
“Sakit itu dibawa happy, biar cepet sembuh.”
“Yaudah, sekarang ayo kita pulang. Sekalian cari makan buat lo.”
Hani mengangguk dan mencoba turun dari ranjang rumah sakit dibantu dengan Agam. Agam memapah Hani berjalan. Sebelumnya ia sudah membayar tagihan rumah sakit dan menebus obat Hani.Hani masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Agam yang duduk di sampingnya. Agam menjalankan mobilnya keluar dari rumah sakit.
“Ini obat lo, diminum setelah makan, harus teratur minumnya. Lo juga gak boleh makan yang berminyak selama seminggu. Gak boleh kecapekan juga, banyak minum air dan istirahat yang cukup,” ujar Agam di sepanjang jalan. Hani hanya diam sambil menahan tawanya.
“Kenapa lo kaya gitu?” tanya Agam.
“Lo lucu deh kalau bawel kaya gitu, dulu aja lo yang paling keras sama gue ketimbang yang lain. Sekarang lo perhatian gini sama gue,” jawab Hani. Agam hanya tersenyum mendengar perkataan Hani.
“Lo makan apa ya? Udah malem juga. Banyak warung yang tutup.”
“Gue bisa makan di rumah kok, lo angsung anterin gue pulang aja.”
“Emang lo bakal makan apa di rumah, roti? buah? Apa beras mentah?”
“Yaaa, coba cari aja siapa tau ada makanan sisa.’’
“Nggak, kita bakal cari makanann yang layak buat lo.”
Hana hanya mengangguk pasrah. Agam memelankan laju mobilnya sambil mencari-cari rumah makan yang masih buka. Agam hendak mencarikan bubur ayam untuk Hani, tapi ini sudah jam sepuluh malam, pasti tidak ada warung makan yang menjual bubur ayam jam segini.Tapi keberuntungan memihak kepada Hani dan Agam, ada gerobak yang menjual bubur ayam di seberang jalan. Agam berharap masih tersisa bubur untuk Hani. Agam menghentikan mobilnya dan turun untuk membeli bubur.
“Lo tunggu sini, gue biliin lo bubur,” ujar Agam, Hani hanya mengangguk. Agam keluar dari mobil dan berkari menuju gerobak bubur tersebut.
“Bang masih ada buburnya?” tanya Agam kepada sang pemilik gerobak.
“Masih mas, tapi cuma satu porsi aja.”
“Syukurlah, gak papa bang, bungkus aja.”
Penjual bubur ayam itu pun membungkuskan bubur yang di besan Agam. Lima menit kemudian bubur Agam sudah siap.“Berapa bang?” tanya Agam.
“Lima belas ribu mas.” Agam mengeluarkan satu lembar uang Rp 20.000, “Ambil aja kembaliannya bang,” ujar Agam setelah memberikan uangnya kepada penjual bubur.
“Makasih mas.” Agam mengangguk lalu membawa buburnya ke dalam mobil dan memberikannya kepada Hani.
“Lo makan di sini aja ya? Gue takut kalau lo pulang nanti gak bakal kemakan,” ujar Agam. Hani mengangguk dan mulai membuka bungkus dari bubur ayamnya. Hani menuangkan kuah beserta lauknya ke atas bubur. Kemudian Hani memakannya perlahan. Agam bersandar di kursinya sambil menunggu Hani makan. Hani memakannya dengan lahap, Agam menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.
