27. Jangan Menyembunyikan Lukamu

68 12 5
                                    

Suara pak Feri--guru sejarah--bagaikan dongeng pengantar tidur untukku. Setiap kata yang keluar dari mulutnya sungguh sangat ampuh membuat para murid-muridnya menguap bahkan tertidur. Sungguh miris. Biasanya aku selalu antusias mendengar penjelasannya, ini pasti gara-gara suara Cakra tadi malam. Akibatnya aku sulit tidur.

Aku merasakan jari seseorang mencolek pipiku terpaksa membuatku membuka mata. Aku bernapas lega mendapati wajah Airani bukan wajah pak Feri.

"Bangun, May. Mau ke kantin nggak?"

Aku menggeleng.
"Udah istirahat ya?"

"Iya. Ya udah aku ke kantin dulu sama Rima. Kalau kamu berubah pikiran tinggal nyusul aja ya." setelah mengatakan itu Airani keluar kelas dengan Rima, cewek yang duduk di depanku.

"Tinggal nyusul aja." gumamku menirukan kata terakhir Airani.

Mana mungkin aku ke tempat yang penuh manusia kelaparan itu. Tempat seperti itu selalu aku hindari. Tersisa aku saja di dalam kelas, semuanya kebanyakan ke tempat penuh manusia kelaparan itu. Mungkin aku satu-satunya orang yang suka kesepian. Tak seorangpun yang mau menemaniku? Sudahlah aku juga tak butuh seseorang yang hanya berpura-pura ingin menemaniku.

Ketika hendak menenggelamkan kepalaku lagi sosok Cakra sedang berdiri di ambang pintu dengan senyum manisnya yang mengembang. Aku menghembuskan napas, mau apa lagi dia? Kaki panjangnya melangkah ke tempatku duduk, tanpa meminta izin terlebih dahulu bokongnya sudah mendarat di kursi Airani.

"Laper nggak?" tanyanya dengan senyum yang terlukis indah menghiasi wajahnya. Kalau dari dekat begini senyumnya sangat-sangat manis. Aku pasti sudah gila.

"Ngapain kesini?" tanyaku alih-alih menjawab pertanyaannya.

"Mau ngajak kamu ke kantin."

Aku terkekeh.
"Kamu salah mengajak orang."

"Aku nggak salah mengajak orang. Aku sungguh-sungguh ingin mengajakmu ke tempat ramai itu."

"Kamu ajak aku ke seribu kalipun aku nggak akan mau."

Cakra tak menjawab senyumannya sirna digantikan dengan ekspresi datarnya. Apa perkataanku menyakitinya? Atau membuatnya kecewa? Dia membisu lumayan lama, pandangannya lurus ke depan. Aku sungguh tak mengerti dia kenapa.

"Apa kamu baik-baik saja?" jeda sesaat setelah aku menaruh botol minumanku yang berisi air putih di depannya, "minumlah. Aku pikir kamu haus."

"Aku ingin kamu menyukai keramaian seperti kamu menyukai kesepian." ujarnya tanpa menoleh ke arahku.

"Tapi itu sulit, Cakra. Nggak mudah buat orang introvert sepertiku. Jangan aneh-aneh deh, aku nyaman dengan begini saja."

"Kamu harus berbaur dengan mereka. Kita ini makhluk sosial, aku yakin kamu pasti mengetahuinya." tatapan Cakra sangat tajam dengan ekpresi datarnya. Aku jadi takut melihatnya.

"Aku pernah bergabung dengan mereka tapi apa yang aku dapatkan, aku tak dianggap, Cakra. Dan aku benci tatapan mereka seolah-olah aku ini makhluk asing yang tak pantas bergabung dengan mereka." dadaku kembang kempis mataku perih menahan bulir yang sedikit lagi akan terjatuh.

Aku bangkit dari dudukku tapi tangan Cakra mencekal pergelangan tanganku.
"Mau kemana? Mau nyakitin dirimu sendiri? Duduk." Cakra menekankan kata terakhirnya. Dia seperti bukan Cakra.

MEMORIES NEVER DIE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang