25. Pengakuan Panji

63 10 5
                                    

Kita sama-sama membisu, hanya suara kendaraan roda dua yang mengusik pendengaranku. Rasanya aku ingin menghajar habis-habisan pada cowok di sampingku ini. Panji mengatakan sejujurnya lima menit yang lalu, selama lima menit aku berusaha menahan amarahku.

"Wulan." panggilnya pelan.

"Kamu brengsek, Panji."

"Wulan aku minta maaf." Panji mengambil tanganku, aku bisa merasakan tangannya yang dingin dan gemetar.

"Seharusnya kamu minta maaf sama orang yang udah kamu renggut mimpinya itu."

Baru kali ini aku melihat seorang cowok menangis. Mata Panji sampai merah, tangannya masih gemetar juga sangat dingin.

"Aku harus bagaimana?"

"Pertanyaan bodoh," aku tersenyum miring, "aku bisa saja masukkan kamu ke penjara."

Dengan tangan gemetarnya itu Panji memohon agar aku tak melakukan apa yang aku ucapkan tadi.

"Aku mohon, Wulan. Tolong bantu aku."

"Kamu harus menikahinya, Panji." teriakku.

Panji bangkit dari duduknya.
"Aku nggak bisa." dia menggelengkan kepalanya.

Aku berdiri sambil menarik kerah bajunya.
"Kamu harus bertanggung jawab, brengsek."

"Nggak bisa, Wulan. Aku nggak mau menikahinya,"

Panji memegang kedua pundakku,
"Aku menyayangimu." teriaknya tepat di depan wajahku.

Aku menjambak rambutku mendengarnya. Panji benar-benar gila.
"Kalau kamu benar-benar menyayangiku, aku mau kamu menikahinya. Kamu harus bertanggung jawab, Panji."

"Tapi aku tak menyayanginya, aku tak mencintainya, Wulan."

"Setelah menikahinya kamu pasti mencintai dan menyayanginya, Nji. Sudah, lakukan apa yang aku mau. Aku harus masuk."

Aku meninggalkan Panji yang masih terdiam di halte. Saat masih berlangsungnya latihan karate aku di kejutkan kedatangan Panji, dia meminta izin pada kak Dika untuk mengajakku berbicara sebentar.

'Aku menyayangimu' salah satu kata yang berusaha aku hindari karena aku yakin setelah seseorang mengatakan itu masalah demi masalah akan timbul di pikiranku, dan itu sangat menyebalkan. Mungkin bagi sebagian orang akan merasa senang karena ada seseorang yang menyayanginya.

"Maaf kak aku izin pulang." kataku pada kak Dika yang sedikit terkejut.

"Kamu sakit?" tanyanya.

"Mungkin iya."

"Apa perlu kakak antar sampai rumah?"

"Nggak usah terimakasih." aku setengah membungkukkan badanku.

Baru selangkah kak Dika mencegahku.
"Kakak antar ya."

Mungkin kak Dika juga tergolong cowok yang tak bertanggung jawab.
"Kalau kakak antar aku pulang yang latih mereka siapa?" tanyaku menunjuk murid-murid yang katanya pengen belajar karate.

Terdengar helaan napas kak Dika.
"Ya udah kamu hati-hati ya." aku hanya mengacungkan jempolku setelahnya berjalan menjauhi lapangan yang panas itu.

Kak Dika memang seperti itu, dia baik, perhatian dan peduli pada semua orang. Jadi aku tak heran saat dia sangat peduli padaku. Sebenarnya aku tak ingin pulang ke rumah, aku ingin pergi ke suatu tempat yang bisa mendamaikan perasaanku dan pikiranku. Dimana aku bisa menemukannya?

Di halte sudah tak ada Panji mungkin dia sudah pulang. Aku duduk disana di temani sepi, jalanan memang ramai tapi aku merasa sepi. Pengakuan Panji memenuhi isi kepalaku, aku harap dia menuruti permintaanku. Saat dia mengatakan 'aku menyayangimu' bersamaan dengan rasa bersalahku muncul. Harusnya dia tak mengucapkan itu, tak boleh dia mengucapkan itu. Sangat dilarang mengatakan hal-hal semacam itu padaku yang tak menyayanginya.

MEMORIES NEVER DIE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang