24. Mengingat Kenangan Manis Bersama Cowok Manis

72 10 5
                                    

Kendaraan roda dua, roda empat sesekali becak melintas ke jalan yang di bawahnya sungai. Seperti jalan tol, tapi bukan. Jalanan ramai, jam-jam pulang kerja soalnya. Aku dan Cakra sedang berdiri menatap jalanan yang ramai yang di bawahnya terdapat sungai itu. Di halaman belakang rumah nenek--ibunya bapakku--kalau hujan tak kunjung reda bisa-bisa rumah nenek kebanjiran, itu sering terjadi. Untung saja dulu aku tak jadi menetap di sini. Tapi kasihan nenek  Di sungai ada ibu-ibu mencuci pakaian juga anak kecil yang sedang berenang. Aku takut mereka tenggelam bahkan hanyut. Sungai itu sangat dalam juga sangat luas. Ada sampah juga di sana.

"Kamu jangan ngintip ibu-ibu yang lagi mandi itu ya!" ujarku sambil menunjuk ibu-ibu yang sedang mandi. Meskipun sangat jauh barangkali mata Cakra sangat tajam.

"Nggak, Wulan. Halaman belakang ini tempat yang pas buat lihat kendaraan yang lewat." ucapnya.

"Lihat kendaraan lewat apa lihat ibu-ibu telanjang?" Cakra langsung menatapku.

Matanya melotot seperti sedang memperingatkanku.
"Wulan."

Aku terkekeh.
"Dulu waktu aku masih kecil kalau main ke rumah nenek Bapak selalu bawa aku ke sini. Lihat mobil katanya." sepertinya hari ini aku banyak ngomong.

"Kamu pernah mandi di sungai itu?" tanyanya.

"Enggak pernah. Aku takut tenggelam."

"Apa lagi selain lihat mobil?"

Pertanyaannya memancingku untuk banyak bicara, lebih tepatnya menceritakan kenangan masa kecil yang manis.

Aku menunjuk pohon kersen.
"Aku suka buah kersen. Setiap ke sini aku sama Bapak ngambil buahnya."

Kepala Cakra angguk-angguk.
"Habis itu?"

"Kalau ke sini aku suka nggak betah. Waktu aku ngerengek minta pulang Bapak selalu ada cara buat aku betah. Bapak menyuruhku melihat dia menjahit. Tapi itu membosankan."

"Masa kecil yang menyenangkan." ujarnya.

"Aku ingin kembali pada masa kecilku."

"Kenapa?"

"Kata kamu kan menyenangkan, jadi tolong berikan aku pintu ajaib agar aku bisa kembali pada masa kecilku."

"Kamu nggak perlu kembali pada masa kecil. Aku akan buat kenangan baru yang lebih menyenangkan dan tentunya lebih indah."

Aku terdiam sesaat berusaha merespon ucapannya. Klakson bus mengagetkanku, jalanan semakin ramai. Kapan jalanan akan sepi?

"Kota tanpa manusia apa jadinya?" tanyaku.

"Hampa."

"Hampa?" aku bertanya lagi.

"Ya. Hening, sunyi," pandangannya lurus, "tapi aku ingin hidup bersamamu di kota tanpa ada manusia, selain kita." kali ini dia menatapku.

Aku menanggapinya dengan terkekeh. Laki-laki di sampingku mulai membicarakan omong kosong. Apa semua laki-laki selalu membicarakan omong kosong?

Cakra menyamakan langkahnya denganku saat aku berjalan meninggalkannya. Tanganku di cekal olehnya.
"Jangan berjalan sendirian lagi."

"Kita mau ke rumah nenek ku." aku melepas tangannya.

Rumah nenek ada 2 yang terdapat halaman belakang itu jarang ditinggali, ada pamanku kalau pulang merantau saja. Dulu aku pernah tinggal di rumah itu waktu umurku 2 tahunan. Nenek tak ada di rumah hanya ada bibiku. Bi Ani dan Bi Ina. Mereka bukan kembar, nenek menamai mereka memang seperti itu.

"Sopo iki, Wulan? Pacarmu?" tanya Bi Ina yang sedang mengangkat jemuran.

"Bukan, Bi. Ini teman Wulan."

MEMORIES NEVER DIE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang