29. Harus Tanggung Jawab

71 10 10
                                    

Aku tak tahu apa yang nanti ku lakukan setelah sesi menari bersama di bawah rinai hujan ini, tapi di dalam lubuk hatiku paling dalam aku tak mau kebahagiaan ini cepat berlalu, untuk pertama kalinya aku menginginkan hujan turun lebih lama. Apa Cakra berhasil membuatku senang?

Jika Cakra berhasil membuatku senang, apa mungkin aku sudah menerima kehadirannya? Aku tak mau terlalu larut dalam kesenangan karena aku yakin kesedihan sudah menungguku lagi. Tapi bolehkah aku berharap satu hari ini aku bahagia?

"Aku sudah membuatmu tertawa." ucap Cakra di sela-sela menari kami.

Aku mengangguk.
"Kemarin aku membencimu." kataku diakhiri kekehan kecil.

"Sekarang menyukaiku?"

Tepat di depannya, tepat mata kami saling bertemu aku menjawab,
"Entahlah," jeda sesaat, ku lihat raut wajah Cakra seperti mengharapkan sesuatu, "ajari aku mencintai diriku sendiri baru aku akan menyukaimu."

Senyumnya mengembang, air hujan yang mengenai rambutnya jatuh di hidungnya, meluncur seperti perosotan.

"Aku akan buat kamu mencintai dirimu sendiri."

"Setelah kamu berhasil buat aku mencintai diriku sendiri apa kamu akan meminta imbalan?"

Dia tampak berpikir,
"Mungkin, sudah lupakan tentang imbalanku, apa kamu senang hari ini?"

Aku mengangguk cepat.
"Berkatmu. Terimakasih." senyum tanpa paksaan tercetak di bibirku, rasanya seperti kembali menemukan senyumku yang dulu.

Cakra membalas senyumku,
"Syukurlah. Apa kamu ingin mengakhiri dansa ini?" aku tak ingin mendengar pertanyaan itu. Kalau boleh jujur aku tak ingin mengakhirinya.

"Sudah satu jam kita menari," kepalanya celingak-celinguk menatap sekitar, "di pinggir jalan." Cakra tertawa. Aku baru menyadarinya, apa selama satu jam kita menjadi pusat perhatian?

Kepalaku ikut seperti yang dilakukan Cakra. Aku bernapas lega, kendaraan yang lewat tak begitu banyak mungkin mereka memilih berteduh.

"Kita pulang ya. Aku sudah siap dimarahi." aku terkekeh mendengarnya.

Aku mengikuti Cakra yang menghampiri motornya yang ia letakkan tak jauh dari kami. Tangannya membuka jok motor, mengambil sesuatu di sana. Secepat kilat tangannya kini sudah memakaikan jaket di pundakku.

"Jaketmu basah nanti." kataku.

"Aku lebih khawatir orang salah fokus."

Aku segera merapatkan jaketnya, aku tau apa yang dimaksud Cakra. Dia menggaruk tengkuknya bersamaan dengan semburat merah di pipiku. Apa-apaan ini, memalukan. Tapi untung saja seragamku berwarna cokelat, bukan putih.

"Ini." Cakra menyodorkan helm tanpa menoleh ke arahku.

"Nggak usah. Nanti helmnya basah." aku berharap tak ada bantahan yang keluar dari mulut Cakra yang membuatku malu.

Satu detik kemudian dia mengangguk, aku bernapas lega. Di jalanpun dia tak mengucapkan apapun. Apa dia merasa malu? Seharusnya aku yang merasa malu.

Aku menggigit bibir bawahku, padahal kedua tanganku sudah kumasukkan ke kantong jaket tapi kenapa masih menggigil. Aku berharap hari esok baik-baik saja.

"Apa kamu selalu buat orang ketawa, Cakra?" ujarku membuka obrolan.

"Enggak. Kamu orang pertama." jawabnya.

"Setelah berhasil buat aku ketawa siapa selanjutnya?"

"Kamu."

"Kan sudah berhasil."

MEMORIES NEVER DIE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang