33. Toko Buku & Pantai

93 10 17
                                    

Setiap malam minggu keadaan selalu ingar bingar di lapangan--yang jaraknya satu kilometer dari rumahku--banyak penjual, wahana permainan juga manusia butuh hiburan berada di sana. Pasar malam, hiburan murah tapi mewah untuk masyarakat bawah. Aku tidak tau siapa yang pertama kali mengatakannya. Tetanggaku yang kaya saja tapi masih bisa menikmati pasar malam.

Meskipun hadir disetiap malam minggu, masih bisa ku hitung jumlah aku mendatanginya. Kalian bisa menebak alasannya? Hiruk pikuknya membuatku tak betah berlama-lama. Aku selalu dipaksa ibu untuk menemaninya. Hanya ketika kondisi uang memungkinkan untuk berbelanja.

Tangan seseorang menyodorkan jagung bakar.
"Astaga Cakra, aku ingin pulang." sewotku, dari tadi aku berusaha sabar.

Sekarang aku sedang duduk dikursi panjang, di warung. Tepatnya sedang melihat keramaian, aku sudah tak betah di sini. Tatapan orang padaku sangat menusuk seperti tak membolehkan aku berada disekitar mereka. Kenapa sih orang-orang suka menatap begitu?

"Seharusnya kamu tatap balik mereka bukannya menatap ke arah lain." ujar Cakra sambil mengunyah jagung bakarnya. Dia tahu apa isi pikiranku?

"Memangnya kenapa?" tanyaku bingung.

"Ketika seseorang bertatapan cukup lama pasti salah satu dari mereka memutus tatapan itu. Contohnya seperti kamu tadi. Aku ingin orang yang menatapmu memutus tatapan itu, bukannya kamu."

Aku masih belum mengerti inti ucapannya, menyadari diamku Cakra berujar lagi,
"Mereka pasti tak nyaman ditatap seperti itu, Wulan."

"Oke akan ku coba. Tapi bagaimana kalau orang itu tak memutus tatapanku? Bagaimana kalau dia lebih kuat, dibanding tatapanku?"

"Dicoba saja belum. Aku yakin kamu yang paling kuat. Kamu harus melawan mereka," dia menjeda sejenak untuk menelan kunyahannya, "dan satu lagi, kamu jangan berpikir bahwa mereka tak menyukai kehadiranmu. Mereka hanya ingin tau siapa cewek cantik disampingku ini."

"Jangan menggombal deh, ayok kita pulang." aku beranjak dari tempat membosankan ini.

"Jagung bakarnya belum kamu makan," dia menyodorkannya lagi, "atau bawa pulang saja?"

"Habiskan saja untukmu."

"Tapi aku belum menunjukkan sesuatu."

"Apa lagi?"

"Lihat, ada mesin capit boneka di sana." telunjuknya menunjuk mesin pencapit boneka dipinggir permainan trampolin.

"Aku nggak suka boneka."

"Oh ya?" ekspresinya sangat terkejut, "kalau kamu nggak mau kesana. Biar aku aja, kamu duduk manis di sini sambil makan jagung." dia mendorong kedua pundaku menyuruhku duduk juga lagi-lagi menyodorkan jagung bakarnya.

Setelahnya dia langsung berlari menghampiri pencapit boneka itu. Dari kejauhan aku bisa melihat dia sangat berusaha mendapatkan salah satu boneka di sana. Cukup lama--sampai jagung bakar pemberiannya sudah aku habiskan--dia tak berhasil mendapat satupun, aku jadi kasihan melihatnya.

Saat aku hendak berjalan ke sana, Cakra berlari membawa satu boneka berwarna putih. Aku tak tau boneka apa yang dia dapatkan karena dari kejauhan tak begitu jelas karena kecil.

"Tadi dia menangis, Wulan. Jadi aku membantu mengeluarkannya." ucapnya menyodorkan boneka Ice Bears salah satu tokoh dari animasi We Bare Bears. Animasi kesukaanku.

Aku tertawa pelan.
"Tapi buat apa? Aku nggak suka boneka."

"Simpan aja. Buat kenang-kenangan. Biar kamu nggak lupain cowok manis ini." aku tertawa pelan.

"Kamu tau dari mana aku suka Ice Bears?"

"Aku sebenarnya nggak tau. Cuma pas lihat dia aku ingat kamu. Dia paling pendiam dari 2 beruang lainnya kan?" aku mengangguk menanggapinya.

MEMORIES NEVER DIE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang