31. Musim Kemarau

59 11 8
                                    

Sebuah ruang yang dulu dilingkupi kedinginan sudah digantikan dengan kehangatan yang menjalar bagai menyetrum keseluruh tubuh. Kamar sudah menghangat menggantikan dingin dikala pagi ataupun malam hari. Di musim kemarau ini aku berharap sikapku hangat bagaikan sinar mentari. Seseorang juga berharap demikian, seperti yang pernah dia katakan lewat sambungan telepon saat kemarau memulai hari-hari kami.

"Kamu itu seperti bongkahan es, Wulan. Dingin dan beku. Aku hadir di hidupmu seperti mentari, untuk mencairkan bongkahan es itu. Aku hanya butuh waktu dan kesabaran untuk mencairkannya dan aku yakin suatu hari sikapmu bisa sehangat mentari."

Begitulah kira-kira, aku masih ingat sekali, dia hanya mengatakan itu dan memutus sambungannya. Kita hanya berteman sampai musim hujan berakhir dan itu bukan omong kosongku saja. Selama musim hujan dia menyuruhku menyukai hujan, menyukai keramaian juga menyuruhku mencintai diriku sendiri. Aku menyebutnya misi-misi musim hujan. Ketiganya lumayan berhasil tapi sekarang permasalahannya aku menjadi kesepian di musim yang hangat ini.

Aneh, dulu aku menyukai kesepian. Kesepian selalu menjadi temanku. Biasanya aku selalu menikmatinya untuk mengisi libur panjangku. Ya, sekarang aku sedang menikmati masa-masa membosankan, aku tak tau harus melakukan apa lagi untuk mengisi waktu libur ini.

Dimulai dari malas-malasan, membaca buku, mendengarkan radio, menonton televisi, dan terakhir aku selalu menunggu salam dari seseorang dari radio. Barangkali dia titip salam dan aku selalu mengharapkannya.

Tanganku menarik rem disebelah kiri, menghentikan sepedaku dipinggir jalan. Menikmati kehangatan juga angin sepoi-sepoi. Padi menguning bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti terpaan angin. Aku juga melihat pria paruh baya ditengah-tengah sawah entah sedang apa, mungkin sedang mengusir burung-burung kecil yang nakal memakan padi-padinya.

Aku menutup sorot sinar mentari yang menyilaukan mataku dengan tangan. Aku tak tahu tujuan, hanya menggoes sesuka hati, pasrah oleh kakiku yang akan membawaku kemana. Berharap dia tau tempat yang menghangatkan dan membuatku nyaman.

"Wulan." sapa seseorang yang lama tak pernah muncul.

Dia menggoes sepedanya pelan disampingku.

"Kamu ngikutin aku, Gum?" cowok tengil itu tertawa.

"Aku tadi ke rumah kamu. Kamu mau kemana sih?"

"Aku juga nggak tau, Gum."

"Ke minimarket aja gimana?"

"Kamu pasti mau ngadem doang, nggak beli apa-apa." sindiranku membuatnya tertawa lagi.

Tiba-tiba aku teringat suatu tempat yang pernah ku kunjungi.
"Gimana kalau kita ke angkringan aja? Yang deket sekolah kita itu."

"Jauh, Wulan. Nanti kamu capek. Inget lho kita naik sepeda."

"Ya sudah kalau nggak mau. Aku pergi sendiri aja." aku menambah kecepatan mengayuh sepedaku.

"Oke aku ikut." Gumi berada dibelakangku.

Jalanan lumayan ramai tapi di angkringan hanya ada beberapa orang saja, mungkin karena baru buka. Aku melihat laki-laki paruh baya yang sedang menyeruput minumannya juga melihat cewek cantik disampingnya ada cowok yang membenamkan wajahnya di meja. Sepertinya aku mengenal cewek itu. Dia sedang mencoba membangunkan cowok itu jadi aku tak melihat wajahnya hanya punggungnya saja.

"Besok aku mau ke Bekasi." ujar Gumi mengalihkan pandanganku.

Ekpsresinya sangat serius membuatku terkekeh. Dia tak pernah seserius ini.
"Mau main ke rumah nenek kamu?"

Ayah Gumi berasal dari Bekasi, setiap libur panjang dan idul fitri dia akan mengunjungi rumah ayahnya itu.

"Iya. Kamu ikut ya."

"Nanti aku tinggal di mana?"

"Ya di rumah nenekku."

"Apa kata orang nanti."

"Kamu berpura-berpura jadi saudaraku saja."

"Enggak ah. Tumben kamu ngajak aku."

"Aku takut kamu direbut orang."

"Pulangnya kapan?" aku mengalihkan pembicaraannya.

"Dua hari sebelum masuk sekolah."

Hening sesaat. Aku menyeruput sekoteng yang dari tadi ku abaikan. Sedangkan Gumi menyeruput kopinya.

"Aku pengen nanya, Wulan. Tapi kamu harus jawab jujur."

"Nanya apaan sih? Serius amat." tanyaku tanpa menoleh.

"Kamu udah pacar?"

"Kamu kan tau ibu sama bapak ngelarang aku buat pacaran."

"Terus cowok yang pernah nganter kamu ke dokter Awan dia siapa?"

"Kamu tau dari mana?"

"Aku lihat sendiri, Wulan. Dia pacarmu ya?"

"Dia temanku. Dia ingin berteman sama aku, Gum. Kenapa sih kamu?"

"Aku takut dia rebut kamu dari aku. Aku pengen teman cowok kamu cuma aku."

Aku tertawa, kenapa Gumi seperti itu. Aku berhak berteman dengan siapapun selain dia. Dan apa katanya tadi, takut aku direbut orang? Memangnya dia siapa, kita cuma berteman.

"Udah deh, Gum. Sebenarnya kamu kenapa? Ada masalah?"

"Ya itu masalahnya, aku kayaknya menyukaimu. Intinya aku nggak mau kamu deket sama cowok selain aku," tangannya memegang dadanya, "cuma Gumilar, cowok yang berhak jadi teman Wulan."

Lagi-lagi aku dibuat tertawa.
"Rasa sukamu cuma sementara, Gum. Kamu cuma cemburu karena aku deket sama cowok selain kamu. Dan kamu nggak boleh lupa sama perjanjian kita waktu dulu, kamu nggak boleh menyukaiku. Karena kita cuma berteman."

"Tapi ada kok orang yang suka sama teman sendiri."

"Kita bukan orang itu, Gum. Masih banyak cewek selain aku, kamu kan gampang suka sama orang."

Gumi diam saja, apa perkataanku salah? Tapi Gumi memang cowok seperti itu, dia gampang bergaul, gampang berteman juga gampang menyukai orang. Dia juga dekat dengan cewek-cewek di sekolah. Aku mengalihkan fokus pada layar ponsel, wajah Gumi datar, aku jadi takut.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang kenyal menempel pada pipi kananku. Astaga apa tadi? Apa tadi bibir Gumi? Dia menciumku?

"Gumi." aku menatapnya horor, aku berharap apa yang dipikiranku tadi salah.

"Kamu cuma milikku, Wulan." ucapnya tanpa rasa bersalah.

"Lo gila!!" ujar cowok yang dari tadi menenggelamkan wajahnya.

Dia Cakra, menghampiri kami dengan ekpresi marah yang memuncak. Tanpa basa-basi dia menarik kerah baju Gumi, aku gemetar melihatnya, segera aku memisahkan mereka sebelum salah satu dari mereka babak belur.

Cewek yang sepertinya aku kenal mendekat ke arah kami, dia kak Fadila. Apa kalian ingat dia? Dia yang sudah berteman dengan Cakra semenjak di bangku SMP. Dia menarik tangan Cakra, menyuruhnya duduk dan berusaha menenangkannya.

Aku pun melakukan hal yang sama pada Gumi. Meskipun dia sudah bersikap tak sopan padaku. Aku kecewa padanya, aku kira dia orang yang tak mungkin melakukan hal tadi. Suasana menjadi mencekam, hawa dingin melingkari kami. Terjadi hening sangat lama, tak ada kata yang keluar dari mulut kita.

-m e m o r i e s   n e v e r   d i e-

Gimana sama chapter ini?

Apa kalian siap berpisah dengan mereka? Bentar lagi ending😭

Okay, don't forget to vote and comment, see ya🙋

12 Juli 2020

MEMORIES NEVER DIE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang