Menemukan Bahagia Selanjutnya

81 1 0
                                    

Perasaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditebak kapan datangnya, ia tiba penuh kejutan dengan banyaknya pertanyaan tanpa jawaban, juga keadaan yang menyisakan kebingungan tak berujung.

Seperti sekarang, dimana keadaan saat bertanya ia merasa gengsi, namun diam saja ia merasa tidak nyaman. Itulah yang dirasakan Rania, perempuan yang sedang mengamati laki-laki disebelahnya. Mereka habis menyelesaikan makan malam tanpa ada percakapan sama sekali, hanya ada sesekali dentingan sendok dan piring memecah keheningan.

Perempuan paruh baya yang duduk didepan mereka berdua merasa sedikit heran akan suasana dimeja makan saat ini. Tapi, ia memilih tidak ikut mencampuri urusan kedua sahabat itu. Ia tahu, mereka sudah dewasa, pasti bisa menyelesaikannya dengan baik.

Ibu Andri memilih bangkit, bergegas dari sana menuju dapur membereskan peralatan masak yang tadi ia pakai.

"Rania ikut, Tante." Ucap Rania. Ia ingin membantu perempuan paruh baya itu membereskan dapur malam ini. Toh, ia sudah belajar untuk Ujian besok, dan alasan utamanya adalah ingin segera lari dari kecanggungan nya dengan Andri yang sedari tadi ia rasakan.

Wanita yang Rania panggil tante itu menggeleng kearah Rania. "Nggak usah, Rania. Cuma sedikit. Mending belajar." Tolaknya sembari tersenyum kearah Rania. Kemudian segera berlalu.

Rania tersenyum masam. Ia menoleh, Andri masih duduk disebelahnya. Laki-laki itu sedang menghabiskan segelas air putih ditangannya. Rania menelan ludah berkali-kali, baru kali ini ia merasa keluh berbicara kepada Andri.

Andri juga tak jauh dari Rania, ia merasa canggung akibat sikapnya sendiri kepada Rania tadi sore. Setelah menghabiskan segelas air putih, ia bangun dari duduknya. Rania yang melihat itu lekas berkata.
"Andri...."

Andri menoleh, mengerutkan kening.

"Kamu marah?" Rania bertanya. Perempuan itu sedang matia-matian mengalahkan ego yang bergejolak dalam dirinya. Ia menyadari, diam tidak bisa menyelesaikan apapun.

"Duduk dulu, Dri." Kini Rania yang berdehem karena laki-laki itu hanya berdiri menatapnya. "Kalau mau sih, aku nggak maksa."

Andri mendudukan dirinya lagi disebelah Rania. Menatap kearah lain.

"Kamu kenapa sih! Sorry deh, kalau aku buat salah sama kamu, Dri."

Batin Rania berteriak. Kenapa aku yang jadinya minta maaf! Kan dia yang marah-marah.

Andri turut mengamati Rania, "Salah kalau marah?"

Ya salah lah!
"Alesannya apa emang?"

"Kamu sama sekali nggak bilang pergi kemana sampai sesore itu. Kamu pikir, aku tenang-tenang aja waktu handphonemu nggak aktif?"

Rania menarik ujung bibirnya, perempuan itu tiba-tiba tersenyum. "Ya Andri... kamu mencemaskanku, ya?"

Andri melayangkan tangannya kearah Rania, menjitak kepala perempuan itu. "Nggak usah ge-er dulu."

Rania mengusap kepalanya, merengut kearah Andri." Terus apa? Aku bukan anak kecil yang perlu laporan kalau mau pergi kesuatu tempat!"

Andri terdiam sebentar memikirkan kalimat yang akan ia katakan. Kenyataannya ia memang mencemaskan perempuan itu.

"Dri!?"

"Menurutmu siapa yang kena marah ibu waktu kamu belum pulang, Rania?"

"Emang ibu marah? Iyadeh aku mau minta maaf." Rania beranjak sembari keheranan. Tapi kenapa tante tidak bilang apapun?

Dan Andri harap cemas, ia berbohong. Ibunya sebenarnya tidak marah, hanya saja menanyakan keberadaan Rania. "Ibu udah nggak marah." Cegahnya menghalangi perempuan itu beranjak.

Memory and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang