Datangnya Superman

41 1 0
                                    

"Kamu adalah bukti sederhananya sebuah bahagia."

Sudah menjadi hal lazim, kantin sekolah selalu jadi tempat favorit seluruh siswa saat mendengar bel istirahat, apalagi bagi kelas dua belas yang tidak ada pelajaran, banyak dari mereka yang sudah mendudukan diri semenjak pagi, entah makan ataupun numpang wifi gratisan.

Disekolah sebenarnya ada tiga kantin, pertama berada di area depan, dekat dengan kelas sepuluh, kedua kantin bagian tengah, dekat dengan kelas sebelas dan berbagai macam sekre organisasi eskul, dan ketiga adalah dibagian belakang, tepatnya disini, berdekatan dengan kantor guru, perpustakaan, dan gedung kelas dua belas, disini juga kantin paling ramai, mungkin karena kebanyakan dari mereka adalah kakak kelas. Siswa yang sebentar lagi menjelma jadi alumni, jadi tidak ada yang membuatnya enggan.

Banyak pula siswa kelas sepuluh dan sebelas yang sengaja membeli makanan, tentu saja dengan alasan paling mendominan, modusin kakak kelas secara diam-diam.

"Berat juga jadi senior kece badai, mau makan aja dilihatin." Ray mengeluh lirih sambil menguyah bakso yang barusan dimasukan kedalam mulutnya.

Andri jadi berdecak kecil. "Kepedean."

"Sesuai fakta bro." Ray menyeringai sebelum melajutkan kalimatnya. "Mereka itu cewek kelas sebelas, lihat bed kelasnya. Kurang kerjaan banget jauh-jauh kemari." Ia menoleh ke kiri, menunjuk meja berisi empat orang yang tidak jauh dengan mejanya. "Yang pakai bando kuning sama geng-nya. Dari tadi cengengesan lihatin gue, jadi nggak selera kan gue makannya."

"Nggak perlu kepedean. Memang mereka bilang kece badai?" Tanya Andri menoleh jengah. "Makan tinggal makan. Alay, kayak si cewek rewel."

Ray menyipitkan kedua matanya, lalu tersenyum miring. "Wih... cewek mana nih?"

Andri hanya melirik sekilas tidak berniat menjawabi perkataan Ray.

"Cewek mana lagi kalau bukan sahabat tersayang." Ray terawa meledek sebelum meminum es tehnya. "Ngomong-ngomong tentang Rania, tadi dia ke kelas kita bareng Nando."

"Ketemu Riza?" Andri sontak berdecak membuang muka. "Ck, berlebihan itu anak kalau lagi kasmaran."

Pantas saja, tadi Andri melihat Rania keluar dari belokan kelasnya. Ia jadi ingat, apakah Rania sudah berdamai dengan Nando pasca insiden ulat bulu tadi?

"Nggak. Dia disuruh bawa buku matematika milik kelas kita. Tapi... iya juga sih, akhirnya ketemu Riza. Kenapa? Lo cemburu ya?"

"Nggaklah! Aish!" Andri mendesis panjang, mengarahkan kepalan tangannya kedepan menonjok udara kosong. Ray pura-pura menghindar sambil terkekeh penuh dengan ejekan.

Andri membalas dengan dengkusan singkat, kembali menyantap bakso dimangkuknya, meladeni omong kosong Ray sama saja dengan membuang waktunya secara percuma.

Sebenarnya, tidak bisa dipungkiri Andri memang merasa sebal saat belakangan melihat Rania sering bermain ponselnya, cewek itu banyak tersenyum sendirian dengan jari tak lepas dikeyboard handphone.

Andri merasa Rania sedikit berubah, banyak diamnya dan lebih fokus dengan ponsel ketimbang mengobrol dengan dirinya. Namun, perkataan Ray tidaklah benar, Andri membantah kalau dibilang cemburu, ia hanya merasa ada sesuatu yang berbeda. Itu saja. Ia pun tidak berhak mengusik privasi Rania tentang hal semacam ini.

Kebisingan kantin mulai bertambah, suara berisik itu muncul tepat saat beberapa siswa muncul diambang pintu, mereka langsung berebutan memesan makanan. Kegaduhan tersebut membuat Ray memutar kepalanya kearah belakang.

"Pada nggak bisa antri apa, mana berisik banget." Komentarnya, sesaat matanya menyipit memindai rombongan siswa yang baru datang.

"Lah bukannya itu geng sahabat tersayang lo, Dri? Tumben nggak ada. Dimana Rania kalau nggak ikut mereka." Ray bergumam.

Memory and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang