5. Membosankan

7.7K 749 90
                                    

"Rafa, kapan kamu mulai ngerjain tugas ini? Ini cukup sulit sih, soalnya kita butuh data-data yang akurat. Harus ada penelitian lebih lanjut,"

Pria dengan wajah datarnya itu mengangkat cangkir kopi ke arah mulutnya, mengecap sedikit cairan panas itu sebelum akhirnya menikmati aroma kafein di dalamnya. Matanya meneliti deretan kata dalam sebuah kertas berwarna putih tanpa memedulikan seorang gadis cantik yang sibuk memandang wajahnya.

Tak mau menyerah, gadis itu lagi-lagi memancing Rafa untuk menjawab ucapannya. Saat ini mereka berdua berada di sebuah kedai kopi dekat kampus. Bukan tanpa alasan, mereka datang untuk membahas materi perkuliahan sekaligus kerja kelompok. Tidak hanya berdua sebenarnya, ada Thomas di antara mereka. Namun, sayangnya pria itu belum datang di jam yang telah mereka janjikan.

"Jadi menurut kamu kita penelitian di mana? Kamu punya tempat recommended nggak?"

Rafa meletakkan kertas dan cangkir kopi secara bergantian. Tanpa menatap ke arah gadis cantik itu, pria itu malah melirik sekilas ke arah jam yang bertengger manis di pergelangan tangannya.

Melihat gerak gerik tubuh Rafa, Diandra mengambil ponsel di pangkuannya.

"Thomas lagi perjalanan kesini kok, mungkin sebentar lagi sampai."

Rafa hanya menganggukan kepalanya tanpa menjawab semua ucapan Diandra. Gadis itu merasa kesal karena mendapatkan sikap yang seharusnya tidak ia rasakan saat ini. Rafa mengabaikannya, bahkan enggan untuk menatap matanya. Hal itu memancing sesuatu dalam diri Diandra untuk mencaritahu lebih dalam tentang Rafa. Pria yang selama ini ia sukai sejak mereka masih duduk di semester awal.

Tampak dari kejauhan, seorang pria dengan Hoodie putih berlari terengah ke arah meja mereka. Pria itu adalah Thomas, dengan lembaran kertas di tangannya Thomas duduk di dekat Rafa sambil mengatur napasnya.

"Macet, maaf banget sumpah gue udah lari. Capek banget..." Katanya kemudian menyeruput asal Kopi Rafa padahal kopi itu panas.

Thomas menjulurkan lidahnya yang terbakar. Namun pria itu tetap nekat meminum kopi Rafa. Sedang si pemilik menatap dingin ke arah si pencuri.

Menyadari tatapan dingin itu, Thomas segera meletakkan kembali cangkir putih ke atas meja. Menatap ke arah Diandra dan Rafa secara bergantian. Tak lupa senyum yang memperlihatkan deretan giginya.

"Gue tau gue salah. Gue telat dan nggak tepat waktu. Gue minta maap. Besok gue nggak ulangi lagi. Sebagai gantinya kopi kalian gue yang traktir," kata Thomas sambil menarik turunkan kedua alisnya.

Diandra tersenyum masam, kemudian mengeluarkan lagi lembaran kertas dari dalam tasnya.

Merasa di abaikan, Thomas pun berdecih kesal. Kemudian memberikan lembaran kertas yang ia bawa tadi ke arah Rafa.

"Ini contoh laporannya."

Rafa membaca kertas yang diberi Thomas dengan seksama menggunakan mata elangnya.

"Data ini salah," katanya membuat Thomas dan Diandra dengan kompak mengangkat kepala mereka.

"Hah kok bisa?"

"Tidak berdasarkan penelitian akurat," kata Rafa lagi membuat Thomas keheranan.

"Ini akurat kok. Kata Abang gue, datanya di ambil di pasar tradisional. Bagaimana respon para pedangan menghadapi melemahnya harga kebutuhan pokok."

"Harusnya di sertakan sumber," kata Rafa lagi membuat Thomas hampir kehilangan akal.

Diandra menatap kagum ke arah Rafa. Tidak salah selama ini ia menunggu dan menjomlo lama. Pangeran impiannya memang tidak pernah salah. Dia terlalu sempurna.

"Terus gimana?" Tanya Thomas cengo.

"Kita penelitian sendiri,"

"Tapi kan enak Fa. Kita pakai ini aja tinggal kumpulin ke dosen. Jadi nggak perlu ribet nge data lagi."

"Tugas kita penelitian, bukan copas jawaban orang."

Diandra pun menatap kesal ke arah Thomas. Memang benar kata Rafa, seharusnya mereka berdua tidak mengambil jalan pintas seperti ini. Jelas saja Rafa tidak mungkin setuju.

Di tempat lain, gadis itu duduk di lapangan dengan sebotol air mineral di tangannya. Wajahnya tertunduk lesu membayangkan hal-hal yang mungkin saja akan terjadi kelak.

"Hallo tuan putri,"

Gara dan Luna datang ke arahnya. Mereka berdua duduk bersebelahan di dekat Alen yang masih menundukkan kepalanya.

"Tuan putri, putri kecebong maksudnya.." goda Gara di akhiri kekehannya sendiri.

Melihat Alen yang masih terlihat murung membuat Luna memukul lengan Gara agar berhenti menggoda gadis itu.

"Kenapa Len? Over thinking lagi?"

Alena mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Luna kemudian menggelengkan kepala dengan ekspresi senyum.

"Lo nggak bisa bohong sama gue. Gue udah apaaal banget. Sampe udah lecek sama kebiasaan lo yang suka over thinking."

"Maaf.."

"Lo kenapa?"

"Nggak papa kok Gara."

"Coba cerita. Jangan di pendem sendiri kayak sama siapa aja. Gue sama Gara kan sahabat lo.  Kita udah janji kan bakal cerita masalah kita, dan nggak bakal nanggung semua beban itu sendirian."

Mendengar ucapan Luna membuat Alen merasa bersalah. Ia tau bahkan sangat ingat dengan janji persahabatan mereka itu. Tapi, tanpa mereka sadari disini Alen lah yang sudah mendustai janji mereka. Alen berbohong tentang status dan hubungannya bersama Rafa. Bahkan hubungannya dengan keluarganya. Alen merasa gagal menjadi teman yang baik, lalu masih pantaskah Alen menceritakan semua? Membagikan beban itu pada kedua sahabatnya?

"Alen, jangan sampe lo kebanyakan Over thinking terus, takutnya nanti jadi mental illnes."

"Jadi aku ada sedikit masalah yang nggak bisa aku ceritain ke kalian. Tapi, aku kayak pengen kerja  part time gitu..."

"Hah?"

"Lo kekurangan uang Len?"

"Iya? Lo kenapa tiba-tiba pengen kerja?"

"Atau pacar lo bosnya?"

"Lo yakin mau kerja sambilan?"

"STTTTTT DIEMM DULUUUU GUE BELOM SELESAI."

"Terus gimana maksudnya?"

"Gara diem duluuu!"

Gara reflek menutup mulutnya menggunakan ujung jari tangan. Agak takut dengan sikap Alena saat gadis itu mulai bersuara.

"Jadi?"

"Jadi aku udah putusin buat kerja Part Time," jawab Alena matang.

"Itu keputusan?" Tanya Gara lagi membuat Luna menggetok kepala pria itu.

"Awww.."

"Iya keputusan."

"Terus? Apa alesan kamu pengen kerja kayak gitu?"

Alasannya karena tabungan aku hampir habis. Dan keadaan nggak memungkinkan aku minta ke mama. Aku harus usaha sendiri buat dapetin uang buat bertahan hidup. Nggak selamanya aku harus kayak gini terus, bergantung ke orang tua itu nggak mungkin juga selamanya.

"Nggak papa, pengen aja dari pada gabut dan nggak ada kerjaan. Sekalian nambah pengalaman kan? Biar nggak gerogi ngomong di depan umum. Dan menerapkan Komunikasi yang baik." Gara dan Luna menganggukan kepala mereka mendengar penjelasan dari Alen. Syukurlah, temannya itu sedang tidak terlibat suatu masalah.

***

5.7.20

Jangan lupa komen dan Vote yaaaa.

Sebanyak banyaknya, kalau banyak aku bakal up secepetnya ehehehe.

Happy nice day✨

ALENA (Here With Me) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang