Chapter 3 : Angkot

756 89 1
                                    

بسماللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

AWAS‼️ Typo Bertebaran ‼️
Happy Reading!

Kicauan burung terdengar tatkala sang mentari memancarkan sinar kuningnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kicauan burung terdengar tatkala sang mentari memancarkan sinar kuningnya. Rimbunnya pepohonan bergoyang senada dengan angin yang berembus menyapa dedaunan di sana.

Hari ini aku ada jadwal kuliah pagi. Setelah menyiapkan segala keperluan untuk bapak dan Kak Dira, aku bergegas untuk bersiap menuju kampus.
Aku terbiasa menggunakan angkutan umum untuk pergi ke kampus. Meskipun nantinya akan mendapat olokan dari mahasiswa lain, aku tak gentar karena ya inilah aku. Hanya seorang gadis sederhana yang tak memiliki kelebihan mencolok.

"Lah gimana sih mas, kalau nggak punya uang nggak usah naik angkutan umum dong."

"Iya maaf, Pak. Insyaallah nanti akan saya bayar, tapi saya mau cari dompet saya dulu."

Suara kegaduhan membuat perhatianku teralihkan. Aku menoleh ke arah pak sopir yang terlihat tengah adu mulut dengan seseorang.
"Ada apa, Pak?" tanyaku menepuk bahu pak sopir itu.

"Ini mbak, masnya nggak mau bayar," jawab sopir itu masih dengan emosi yang terlihat di wajahnya.

"Maaf, Pak. Bukannya saya nggak mau bayar, dompet saya ilang dan semua uang di sana jadi saya tidak punya uang sekarang," sahut orang yang ada di luar angkot.

Eh, tapi kenapa suaranya tidak asing?
Aku mengintip wajah orang itu dan benar saja. Aku mengenali orang itu.
"Ya sudah, Pak. Biar saya saja yang bayar," ucapku akhirnya membuat pak sopir itu bernapas lega.

"Ya Allah, Mbak. Terimakasih banyak, semoga rezeki mbaknya diganti oleh Allah berlipat-lipat. Dan Insyaallah akan saya ganti. Nama mbaknya siapa?" ucap orang tadi yang masih belum melihat wajahku.

"Saya Nania, Mas."
Orang tadi terkejut begitu aku menjulurkan kepalaku keluar jendela mobil.

"Lah, Mbak Nania?"

Aku yang melihat raut terkejutnya terkekeh pelan. "Hehehe iya Mas Fauzan, saya Nania. Sudah nggak perlu di kembalikan, Mas. Kan Mas Fauzan kemarin sudah menolong saya, jadi tidak ada salahnya bukan jika saya bergantian menolong Mas Fauzan," ucapku tersenyum lembut.

"Masyaallah, makasih banget, Mbak Nania. Ya sudah kalau begitu, saya mohon pamit. Saya harus buru-buru ke KUA, Mbak. Mohon maaf ya Mbak Nania, insyaallah kalau kita ketemu lagi, kita bisa berbincang lagi," ucap Mas Fauzan yabg ternyata sedang terburu-buru.

"Eh iya, Mas. Silahkan," balasku mempersilakan untuk bergegas pergi, karena akupun sebenarnya juga harus segera sampai di kampus.

"Ya udah kalau begitu, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Aku menatap Mas Fauzan yang masuk ke wilayah KUA yang terletak di sebrang jalan. Sebenarnya keperluan Mas Fauzan apa? Sepertinya setiap bertemu pasti ia ke KUA.

Pertanyaan-pertanyaan itu berkeliaran di kepalaku seolah memintaku untuk menemukan jawabannya.
"Ish, Nia ada apa denganmu? Jangan kepo urusan orang," gumamku lirih karena merasa aneh dengan diriku sendiri.
Akhirnya, angkot pun berjalan kembali.

Angkot berjalan pelan hingga membuatku ketar-ketir apabila aku telat sampai ke kampus. Aku tak mau di nilai buruk oleh dosen. Aku harus mempertahankan citra baikku agar beasiswa yang aku dapat tak di cabut.

"Eh ... Eh ... Maaf, Mbak."
Aku terkejut mendapati seorang penumpang pria dengan penampilan preman yang tiba-tiba menyenggol bahuku.

Aku segera menarik dan meletakkan totebag-ku di pangkuan yang tadinya aku letakkan di samping tempat dudukku.
Ya Allah, semoga firasatku salah.

Saat aku menunduk akan membenarkan tali sepatuku yang lepas, mataku memicing saat aku menemukan benda mencurigakan.

Dompet?

Tanganku segera merogoh benda yang aku curigai sebagai dompet itu.
Aku mengernyit heran.
Dompet siapa ini? Apa ini dompet Mas Fauzan?

Karena penasaran aku pun segera membuka dompet itu untuk menemukan identitas pemilik.

Aku membuka dompet itu dan tak ada kartu identitas seperti KTP maupun SIM, isinya hanyalah uang yang lumayan banyak. Aku tak berani memegang uang tersebut khawatir akan menimbulkan maksiat.

Aku terus mencari sesuatu yang bisa menunjukkan identitas yang memiliki dompet ini.
Di kantung kecil khusus uang receh, aku menemukan sebuah foto wanita yang sangat cantik.

Aku pun mengambil satu pas foto tersebut.
"Apakah ia pemilik dompet ini? Sangat cantik."

Aku membalikkan foto itu, siapa tahu ada keterangan nama dan nomor telepon.

Aku merindukanmu.

💛 Fauzan.

Aku tersentak. Ternyata benar dompet ini adalah milik Mas Fauzan yang tadi kelimpungan mencari dompetnya. Dan ternyata dompetnya terjatuh di sini.

Apa ini adalah istri Mas Fauzan? Tapi mengapa ia merindukannya? Apakah ia sedang berada jauh darinya?
Aish, kenapa kamu kepo masalah orang lain sih Nia.

"Pak, kiri."

Aku turun angkot walaupun tujuanku masih jauh. Aku harus segera mengembalikan dompet ini. Siapa tahu ini sangat penting untuk Mas Fauzan.

"Terimakasih, Pak."

Aku berjalan mencari taksi untukku bisa sampai di tempat Mas Fauzan turun tadi.
Tapi entah mengapa diriku menjadi sedikit lesuh, apakah aku kelelahan?

Tapi entah mengapa diriku menjadi sedikit lesuh, apakah aku kelelahan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC

Don't forget vote, comment and share this Story ❤️

Fitri Yulita
20 Juli 2020

 Assalamualaikum, Pak Penghulu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang