Chapter 6 : Berujung Petaka

695 72 3
                                    

بسماللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

AWAS‼️ Typo Bertebaran ‼️
Happy Reading!

Sakit itu ketika belum juga kita memastikan rasa aneh yang dirasakan, namun harus segera menghapus perasaan itu.

-Agista Nania Ramadhani-

-Agista Nania Ramadhani-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nania's Pov

Sudah pukul setengah sepuluh malam, Kak Dira belum juga kembali ke rumah. Biasanya ia jam sembilan pun sudah ada di rumah.

Aku sedari tadi hanya mondar-mandir di depan rumah menunggu kepulangan Kak Dira. Aku sangat khawatir jika terjadi sesuatu dengan Kak Dira.
Jika biasanya kebanyakan orang akan langsung menelpon, tidak denganku. Aku tak memiliki benda yang bagiku elit itu.
Dulu sebenarnya aku memiliki ponsel, namun karena tuntutan biaya berobat bapak, akhirnya aku memutuskan untuk menjualnya.

Lama aku termagu, dari kejauhan ada lampu sorot motor yang menuju ke tempatku berada. Aku mengamati kendaraan tersebut yang tumben sekali ada yang menuju kemari.

Sepeda motor itu berhenti di depan rumah. Aku menengok pemilik kendaraan tersebut. Ada dua orang yang menaiki kendaraan tersebut. Karena keadaan yang gelap aku tak bisa melihat dua orang tersebut.

Grep ...

Aku terkejut bukan main ketika ada salah seseorang dari pengemudi tadi mendekat ke arahku dan memelukku tiba-tiba. Hampir saja aku terjungkal, untung aku bisa segera menahan beratku dan juga orang tersebut.
"Dek ... Hiks ... Hiks ... " isakan terdengar keluar dari ini.

"Kak Dira?"

Iya, suaranya aku mengenali. Ini merupakan suara Kak Dira. Tapi kenapa ia menangis? Apa terjadi sesuatu sewaktu pulang?

"Kakak kenapa menangis?" tanyaku sangat khawatir dengan Kak Dira yang gemetar ketakutan.

Kak Dira yang aku tanyai tak menjawab. Ia masih sibuk dengan tangisan memilukannya.
Kini aku beralih kepada sosok yang berdiri dibelakang Kak  Dira. Dari postur tubuhnya ia pasti seorang pria. Tapi kenapa tumben sekali Kak Dira membawa seorang pria ke rumah.

Apakah karena pria ini yang menyebabkan Kak Dira menangis?

Karena intensitas cahaya yang sangat kurang, aku tak mampu melihat wajah pria itu yang masih tertutup helm. Tapi entah mengapa aku sepertinya mengenalinya.

"Aku hamil."

Satu baris kata yang membuatku membeku ditempat. Aku hanya mampu membeo mendengar ucapan itu terucap pada mulut kakakku sendiri.

"Tunggu, Kak. Apa maksud Kak Dira? yang Nia dengar salahkan?" tanyaku menahan sesak dalam dadaku.

Kak Dira menggeleng kuat sembari terus menangis dalam pelukanku. Aku tak tahu lagi harus seperti apa aku mengekspresikan perasaanku ini. Aku hanya mampu termenung dan menenangkan Kak Dira yang masih menangisi dengan penuh penyesalan.

 Assalamualaikum, Pak Penghulu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang