Chapter 14 : Kepergian [END]

1.5K 80 13
                                    

بسماللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيم

AWAS‼️ Typo Bertebaran ‼️

Kepergianku bukan semata untuk melupakan rasa kesedihan. Aku pergi untuk membawa bahagia bagi diriku, keluargaku dan calon pasienku nantinya. Aku sangat bersyukur Allah memilihkan jalan ini. Jalan penuh kejutan yang bagiku hanya akan aku temukan sekali saja. Terimakasih, Ya Allah.

-Agista Nania Ramadhani-

-Agista Nania Ramadhani-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Author's POV

Angin sepoi-sepoi mengibarkan khimar jingga seorang gadis yang sedang mematung di tepi sawah. Pandangannya menghunus rerimbunan padi yang terbentang luas. Semburat jingga pun tampak elok menjadi background wanita tersebut.
Tak lama tangannya bergerak melipat selembar kertas dengan tak rela. Entahlah rautnya menyiratkan kebimbangan yang tersamar tangisan.

Uhuk ... Uhuk

Gadis itu memukul-mukul dadanya kesakitan. Isakan yang tadinya terdengar lirih, perlahan menggema di tempat tersebut.

Bibirnya bergerak namun tak ada suara yang keluar.

Allah

Mungkin kata itulah yang sedari tadi ia ucap tanpa suara. Tangannya bergegas mengusap pipinya begitu terdengar tapakan kaki mendekat.

"Mbak, lebih baik segera pulang. Sudah mau malam."

Gadis itu masih terpaku pada padi di depannya tak mendengar ucapan seseorang tadi. Matanya memang memandang ke depan, namun air matanya juga tak hentinya menuruni pipi halusnya. Bibirnya memang bergerak, namun tak ada suara yang terdengar.

***

Lain di sini lain juga di sana. Jika pemandangan tadi adalah seorang wanita dengan senja yang menemani, kini ada seorang pria yang sedang bermuka masam sembari membawa spatula kayu.

Pria itu menatap nanar seekor ikan yang telah menghitam di teflon yang berasap menjuntai.
"Ketiga kalinya," gumam pria itu berjalan gontai mengambil sepiring nasi putih tanpa lauk.
Ia berjalan mendekat ke sebuah meja bundar dan meletakkan piring tersebut di atas meja.

"Alhamdulillah, masih bisa makan," ucapnya lagi kemudian menyendokkan nasi tersebut ke mulutnya.
Pria itu tetap lahap memakan nasinya yang tanpa lauk itu.
Mendengar dari penuturannya tadi, bisa disimpulkan sang pria mencoba bersyukur atas apa yang ia makan.

Memang benar, di luar sana banyak sekali orang-orang yang tidak bisa makan karena tak memiliki uang untuk membeli beras. Dan ada pula orang yang hanya memakan nasi kemarin yang dijemur, lalu ketika akan makan, nasi tersebut harus diolah kembali untuk bisa dimakan. Bukankah itu seharusnya sudah membuat kita merasa bersyukur walaupun hanya memakan nasi yang masih bersih dan enak?

 Assalamualaikum, Pak Penghulu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang