[Shortstory-Spiritual]
"Wanita perlu mengenyam pendidikan karena wanita adalah madrasah pertama untuk anaknya."
Agista NANIA Ramadhani, wanita yang bekerja keras demi bisa melanjutkan studinya. Ia harus menyelesaikan studinya dengan cepat, kalau dal...
Saat kau telah memilih menjatuhkan hatimu kepada seseorang yang belum tentu jodohmu, maka bersiaplah untuk terluka oleh kenyataan yang membuatmu jatuh.
Tapi saat kau lebih memilih membangun cintamu kepada Sang Khaliq, niscaya kamu akan dijatuhcintakan kepada seseorang yang namanya telah tertulis bersanding denganmu di lafhul ma'fuz.
-Agista Nania Ramadhani-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nania's POV
Orennya senja memanjakan siapa saja yang melihatnya. Tak terkecuali diriku ini. Aku sedari tadi menunggu seseorang di depan KUA. *Menunggu jodoh ya, Kak? Hehehe*
"Mas ... "
Seorang pria menoleh ke arahku. Walaupun baju dan rambutnya telah kumal, aura kewibawaannya tak pernah runtuh dari dirinya. Ia nampak menoleh ke arahku sejenak, namun ia melangkahkan kakinya kembali.
Aku segera mengejarnya untuk berbicara dengannya. Langkah panjangnya sempat membuatku kewalahan, namun dengan sekuat tenaga aku mendekatinya.
"Mas! Kamu sengaja menghindariku yah?" teriakku yang masih tertinggal di belakangnya.
Ia tetap meneruskan langkahnya tanpa memperdulikan panggilanku. Aku kesal, sungguh. Ia amat dingin sekarang. Entah apa yang menyebabkannya, yang pasti aku menunggu penjelasannya.
Aku berlari layaknya pelari maraton. "STOP!!!" Aku merentangkan kedua tanganku memblokade jalannya. Sontak saja ia baru mau untuk berhenti.
Aku mengamatinya, pandangannya dingin. Beda sekali seperti saat beberapa waktu yang lalu. Apakah jawabanku waktu itu sangat berpengaruh dalam hidupnya?
"Mas, Nia perlu ngobrol."
***
Kami telah tiba di sebuah warung kopi. Awalnya tadi Mas Fauzan menolak ajakanku, namun karena aku terus memohon akhirnya ia mau menurutiku.
Sudah lima belas menit kami sama-sama terdiam, kami menunggu minuman terlebih dahulu sebelum mengobrol. Barista pun datang dengan dua cangkir kopi di atas nampannya. Selepas mempersilakan, sang barista segera menjauh dari meja kami.
Sepertinya Mas Fauzan memang sedang tak berniat untuk bicara. Ia terus memandang dan beberapa kali menyedap kopi yang masih mengepul.
"Hemm, maaf mas saya mengganggu waktu istirahat Mas Fauzan," kataku memulai pembicaraan.
Mas Fauzan yang tadinya tak peduli, kini mencoba memfokuskan dirinya kepadaku. "Sebenarnya ada satu pertanyaan saja yang ingin Nania tanyakan."