Chapter 8 : Kejutan Ulang Tahun

594 70 25
                                    

بسماللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

AWAS‼️ Typo Bertebaran ‼️
Happy Reading!

Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu.

-Ali bin Abi Thalib RA-

Hari demi hari telah dilewati dengan suka maupun duka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari demi hari telah dilewati dengan suka maupun duka. Dan hari ini adalah tepat dimana aku dilahirkan ke dunia ini. Bebarengan juga hari ini adalah hari berpulangnya ibu yang belum pernah aku lihat bagaimana wajahnya.

Menyakitkan memang ketika semua orang akan merasa bahagia apabila mencapai di hari lahirnya, tetapi justru tidak denganku. Aku harus teringat kembali duka mendalam yang terjadi 18 tahun silam. Ketika hari ini tiba, aku tak akan henti-hentinya menyesal dan menangisi ibu yang memutuskan mengorbankan nyawanya demi diriku.
"Ibu, sekarang Nia ulang tahun."
"Nia benci hari ini. Nia depresi saat hari ini tiba."

***

Langit menampakkan keelokannya. Warna biru akan sangat luas menghiasi sejauh kita memandang. Tak ada setitik noda awan di atas sana. Sepertinya hari ini adalah hari yang sangat cerah untuk melakukan segala aktivitas.

Tok ... Tok ... Tok
"Dek ... "

Aku yang sedang merenung, segera mengusap titik-titik air mata yang ternyata sudah menetes di pipiku.
"Iya, Kak."

Setelah aku bercermin melihat wajahku yang agak sembab, aku sedikit memoles bedak menutupi bagian bawah mataku.
Kemudian setelah selesai, aku baru membukakan pintu.

Ceklek.
"Ada apa kak?"

"Kok lama banget sih," tutur Kak Dira dengan bermuka masam.

"Maaf, Kak."
Aku hanya bisa menunduk menyesali perbuatanku. Memang benar aku terlalu lama membukakan pintu untuk kakakku.

"Oke, Fine. Kakak mohon kamu bekerja lebih keras lagi yah. Kalau perlu kamu berhenti kuliah aja. Kakak pengen pernikahan yang mewah, jadi perlu banyak uang," terang Kak Dira.

Aku terdiam beberapa saat. Haruskah ia berhenti untuk kuliah?
Padahal aku tinggal menyelesaikan dua semester lagi. Apakah aku harus berhenti sia-sia setelah berjuang selama dua tahun? Apakah aku harus mengubur dalam-dalam cita-citaku?
Tapi ini semua demi Kak Dira, kakakku sendiri. Aku harus bagaimana ya Allah?

"Jangan menangis, cita-citamu itu hanya omong kosong. Lagian untuk apa mengejar cita-cita setinggi langit mu itu kalau ujung-ujungnya kamu tetap akan berpakaian daster dan tinggal di rumah. Sudahlah dek, berhenti merepotkan kami."

Air mata yang aku bendung sudah tak kuasa lagi aku tahan. Air mata mengalir dalam diam. Perkataan Kak Dira sangat menusuk hatiku. Tapi aku akui itu semua memang bener, aku tak mungkin egois mengejar keinginanku sedangkan keluargaku kerepotan menyokongku untuk mengukir masa depan yang bagi mereka tak mungkin aku capai.

 Assalamualaikum, Pak Penghulu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang