Chapter 2 : Kisah Malam

955 96 10
                                    

بسماللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

AWAS‼️ Typo Bertebaran ‼️
Happy Reading!


Ubahlah pola pikirmu jika masih menganggap rezeki itu hanyalah soal materi.
Bersyukurlah seberapapun rezeki yang didapat karena kita hanya perlu bersyukur untuk bisa merasakan kebahagiaan.

-FitriYulita-

"Saya Nania," balasku ikut menangkupkan tanganku di depan dada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya Nania," balasku ikut menangkupkan tanganku di depan dada.

"Ah iya Mbak Nania, apakah Mbak perlu bantuan ke dokter?" tanya pemuda itu masih khawatir dengan keadaanku.
Senyumku mengembang, baru kali ini aku diperhatikan oleh orang lain. Boro-boro diberikan perhatikan oleh orang lain, teman pun aku tak punya.

Sedari dulu aku selalu sendirian, hanya bapak yang mengerti perasaanku. Di kampus pun aku mengasingkan diri, sebab teman-temanku merupakan keluarga dari orang terpandang. Sedangkan aku, hanya gadis sederhana yang menyusahkan (?)

Aku segera beristighfar menyadari diriku yang tidak Bersyukur atas nikmat yang telah di berikan oleh-Nya.
"Astagfirullah ... Astagfirullah ... Astagfirullah ... "
'Semua sudah memiliki posinya masing-masing, Nia. Kau hanya perlu bersyukur untuk bisa bahagia' kalimat semacam itulah yang selalu menjadi penguat diriku dikala insecure menerpaku.
Memang benar, hanya mengingat Allahlah hati menjadi tenang.

"Ah tidak perlu, saya hanya butuh istirahat aja kok. Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih kepada Mas Fauzan atas minumannya," ujarku sangat berterimakasih kepada Mas Fauzan.

"Tidak masalah, Mbak. Ya sudah kalau begitu saya mau ke KUA dulu yah. Assalamu'alaikum," pamit Mas Fauzan bergegas pergi.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Aku menatap kepergiannya yang berjalan terburu-buru hingga menghilang di sebuah belokan.

Eh tunggu sebentar, dia tadi bilang ingin ke KUA?
Apa aku tadi menghambatnya untuk menikah?

Ya Allah, maafkan aku yang membuat orang lain kerepotan lagi.

Entah mengapa satu demi satu cairan bening menetes dari pelupuk mataku. Batinku sakit mengetahui bahwa kutukan yang Kak Dira sematkan kepadaku ternyata benar.
Ibuku meninggal karena melahirkan diriku. Ia lebih memilih mengorbankan dirinya untuk membuatku terlahir di dunia ini. Namun apa? Bukannya bisa membalas pengorbanan ibu, aku malah membuat kacau. Bapak sakit seperti ini karena kecelakaan saat akan menghadiri wisuda kelulusan SMA-ku. Dan Kak Dira dipecat dari pekerjaannya begitu aku diterima di kampus impianku. Bukankah itu bukan kebetulan?
Apakah aku memang harus menjauh sejauh-jauhnya dari kehidupan ini?

Tapi jika aku menyerah, bukankah itu artinya aku telah mengecewakan pengorbanan Ibu.

Baiklah, Bismillah aku akan buktikan kepada semuanya bahwa pengorbanan ibu tidak sia-sia. Aku bukanlah anak pembawa petaka, aku akan menjadi orang yang bermanfaat. Iya! Itu harus.

"Mbak?"
Seseorang berucap dan aku merasa terpanggil.

Aku menoleh dan mendapati seorang gadis yang seumuran denganku. Dia adalah rekan kerjaku. Dia masih sangat belia, ia bernama Boria. Ia baru saja lulus dari SMK, namun baru juga lulus harus menjadi tulang punggung keluarga. Itu semua terjadi karena ternyata diam-diam ayahnya menyimpan wanita lain dan akhirnya ibu dan ayahnya bercerai dan meninggalkan Ria dengan kedua adiknya. Sebenarnya Ria bisa saja ikut bersama ayah atau ibunya, tapi ternyata keduanya tidak berkenan.

"Iya, ada apa, Ri?"

"Tidak, Mbak. Tadi Ria lihat dari kejauhan kayaknya ada yang nyamperin Mbak Nia kan? Apa tidak terjadi apa-apa?" tanya Ria yang khawatir denganku.
Ria sudah aku anggap seperti adikku sendiri.
"Tidak ada apa-apa kok, Ria udah selesai?" tanyaku berbalik bertanya kepada Ria yang sudah tak memegang selembar brosur pun.

"Alhamdulillah sudah, Mbak. Loh punya Mbak Nia masih banyak? Perlu Ria bantu?" ucap Ria menawarkan bantuannya.

Aku dengan cepat menolaknya, karena aku tahu sebenarnya di rumahnya, adik-adiknya tengah menunggu kepulangannya.

"Beneran, Mbak?"

"Iya, nggak papa kok. Udah gih cepet pulang, pasti adik-adik kamu udah nungguin tu," kataku menyuruhnya untuk segera pulang.

"Hehehe iya, Mbak. Ya sudah Mbak Nia hati-hati yah. Semoga cepat habis brosurnya. Ria pamit dulu yah, Mbak," pamit Ria sembari memberesi tasnya.

"Iya, gih. Salam buat Sesil sama Rehan, yah."

"Iya, Mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Aku menatap kepergian Ria dengan raut iba.

Anak sekecil itu harus mengurus kedua adiknya yang masih belum sekolah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika itu terjadi padaku, pasti aku tak akan setegar Ria sekarang.

Baiklah, hidup itu hanya perlu di syukuri dan ikuti saja alirannya. Insyaallah jika kita menunaikan seperti anjuran Allah SWT pasti akan berakhir dengan bahagia.
Ini pembelajaran untukku, sesengsara-sengsaranya kita pasti ada yang lebih sengsara lagi dan sebahagia-sebahagianya kita pasti ada yang lebih bahagia.
Karena di atas langit pasti masih ada langit.

***

"Bapak udah tidur, Kak?" tanyaku kepada Kak Dira yang baru selesai mencuci piring.

"Udah baru aja, jangan diganggu," jawab Kak Dira langsung beranjak pergi.

Padahal malam ini aku ingin memberikan sedikit hasil kerjaku selama satu bulan ini untuk membantu biaya pengobatan bapak. Tapi, mungkin saja Kak Dira sekarang sedang capek sehingga terkesan tak mau berbicara denganku.
Aku pun mengurungkan niatku dan berjalan kembali ke kamar.

"Ibu, walaupun Nia belum pernah melihat wajah ibu, Nia rindu ibu. Nia ingin melihat wajah ibu. Nia pingin merasakan belaian seorang ibu."
Air mataku mengalir membentuk sungai kecil di pipiku.

"Ibu, maafkan Nia. Karena kehadiran Nia, Ibu terpaksa mengorbankan nyawa ibu. Karena Nia, semua orang yang ada di sekitar Nia mendapat kemalangan. Maafkan Nia belum bisa menjadi orang yang bermanfaat, Bu."
Tak ada suara yang menanggapi pembicaraanku. Hanya keheningan malam dan taburan bintang yang menyaksikanku menangis tersedu-sedu.

Beginilah kisah malamku, terbiasa dengan isakan lara dan kerinduan yang menggebu. Ingin aku pergi menyusul ibu, namun aku tak mau menyia-nyiakan perjuangan ibu. Aku harus bisa membuktikan bahwa aku pantas mendapat perjuangan ibu.
"Bismillah," niatku menanamkan dalam diriku untuk tak putus asa dengan keadaan.

Ingat! Innallaha Ma'ana ❤️
Allah selalu bersamaku, aku tidak sendirian.

Ingat! Innallaha Ma'ana ❤️Allah selalu bersamaku, aku tidak sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC

Don't forget vote, comment and share this Story ❤️

Fitri Yulita
9 Juli 2020

 Assalamualaikum, Pak Penghulu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang