"Sebabnya aku tak bisa melangkah maju,
Karena bayangmu terus menghantui ingatku.""Evan, lo mau makan apa?" Dilara tersenyum kecil, ia mengamati wajah pacarnya yang tampak murung.
"Gue nggak lapar," jawabnya singkat.
"Tapi gue lapar," lirih Dilara.
Alis tebal Evan terangkat sebelah, pria bernetra cokelat itu mengembuskan napasnya kasar. "Kalau lo lapar ya tinggal pesan, apa susahnya?"
Dilara menggigit pipi bagian dalamnya. "Tapi masa iya gue makan sendiri?" tanyanya pelan.
"Apa salahnya kalau lo makan sendiri? Nanti pas mati lo juga sendiri!"
Dilara mengalihkan pandangannya, menatap nanar kotak tissu yang berada di depannya. "Evan kok ngomongnya gitu?"
"Emang kenyataan 'kan?"
Dilara mengangguk lemah, meski hatinya terasa sakit, akibat perkataan Evan. "Iya, lo memang benar."
Laki-laki berhidung mancung itu tersenyum kecil. Ia merapikan rambut Dilara, menyelipkan poni panjang pacarnya ke belakang telinga.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Ra."
"Se ... sesuatu?"
"Iya, Ra. Tapi sebelumnya gue mau minta maaf sama lo."
Dilara tersenyum kaku, tidak biasanya Evan bersikap seperti ini. "Mau ngomong apa, Van?" tanyanya was-was.
"Sebenernya, gue udah nggak sayang sama lo, Dilara."
Netra Dilara berkedip beberapa kali, tak percaya pada pernyataan yang Evan katakan. Ia tertawa getir, telinganya pasti hanya salah mendengar.
"Bercanda lo nggak lucu, Van. Mau ngeprank gue kayak di youtube-youtube, ya?"
Evan menggeleng. "Lo pikir gue bercanda?"
"Iya." Dilara mengangkat kotak tissu, mengeluarkan seluruh isinya lalu membuangnya ke sembarang arah. "Pasti lo naruh kamera tersembunyi di kotak tissu 'kan, Van?"
"Berhenti buang-buang tissu, Dilara! Gue lagi nggak bercanda!"
Dilara mematung.
"Gue emang udah nggak sayang sama lo! Mulai sekarang kita putus!"
Evan menggebrak meja kantin, meninggalkan Dilara yang masih mematung tidak percaya. Semua pasang mata, menatap iba ke arah Dilara.
"Tapi gue masih sayang sama lo, Evan!"
"Evan, dulu lo janji bakal jadi teman hidup gue!"
Dilara terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu, dahinya sudah dibanjiri peluh. Lagi dan lagi--mimpi sialan itu hadir di dalam tidurnya. Tangannya mengambil segelas air putih yang berada di atas nakas, meminum air yang sudah dingin itu untuk menenangkan diri.
Selalu saja seperti ini. Kejadian dua bulan lalu selalu menghantuinya. Dilara lelah, ia ingin bahagia, ia juga ingin melupakan orang yang sama sekali tidak menyayanginya.
"Kenapa lo sejahat ini, Van? Kenapa lo terus ngelarang gue buat lupain lo?"
"Kenapa lo selalu datang di mimpi gue, Van?"
"Kenapa?"
Mengacak rambutnya frustasi, hati Dilara semakin hancur sehancur-hancurnya. Evan memang egois, bahkan ia meninggalkan Dilara tanpa alasan yang jelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dilara [SEGERA TERBIT]
Teen FictionPart sudah lengkap. Dont copy my story, please. #1 in Dilara Dilara Zehran, seorang gadis cantik yang memiliki daya ingat lemah. Namun sialnya, ia tidak bisa melupakan Evan Ainsley--mantan pacarnya. Semenjak hubungannya dan Evan hancur, Dilara beru...