15. Memeluk Luka

547 66 331
                                    

"Mencintaimu, adalah cara paling mujarab untuk memeluk luka."

-Dilara Zehran-

Dilara menatap pantulan dirinya di cermin. Sedari tadi, bibirnya 'tak berhenti mengulas senyum tipis. Jaket kebesaran milik Evan--terlihat sangat pas di tubuhnya.

Tangannya meraih botol parfum, menyemprotkan parfum tersebut, ke seluruh jaket milik Evan yang ia kenakan.

"Pasti Evan sangat senang, kalau jaketnya gue semprot parfum kayak gini."

Lagi, perempuan berusia enam belas tahun itu tersenyum. Ingatan saat Evan menyelamatkan harga dirinya dari Axel--selalu berputar-putar dalam kepalanya.

"Terima kasih banyak, Evan Ainsley. Berkat lo, harga diri gue masih bersih sampai saat ini."

Dilara melepas jaket yang membalut tubuhnya. Ia mencium jaket tersebut, kemudian memeluknya. "Semoga dengan wangi parfum gue, lo bisa jatuh cinta lagi sama gue, Evan."

Kalian boleh menganggap Dilara gila, karena terlalu berharap pada orang yang sama sekali tidak mencintainya. Kalian boleh mengecap Dilara sebagai perempuan tidak tahu malu, karena terus bertahan pada hati yang sudah jelas-jelas, bukan miliknya lagi. Kalian juga boleh memaki Dilara, dengan perkataan kasar sekasar-kasarnya.

Tapi apa boleh buat? Kenyataan selalu memaksanya, untuk bersikap seperti ini.

"Penampilan gue kurang apa?"

Sepertinya tidak ada.

Rambut panjangnya, sudah ia kuncir serapi mungkin. Bibirnya juga sudah berwarna pink, tanpa menggunakan lipbalm dan pewarna bibir lainnya.

"Apa lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Dilara mendekati cermin, memperhatikan kantung matanya yang semakin hari, semakin menghitam, seperti panda. Ia sendiri juga tidak tahu, bagaimana caranya menghilangkan mata panda sialan ini untuk selamanya?

Sambil mendumal kesal, ia mencubit kedua kantung matanya keras-keras. "Gara-gara kalian, wajah gue jadi nggak enak dipandang!"

Jika bisa bicara, mungkin kedua kantung mata itu akan mengaduh kesakitan, karena Dilara memperlakukannya seperi ibu tiri.

"Dilara, ayo berangkat!"

Mendengar Abangnya yang mulai koar-koar, Dilara buru-buru memakai sepatu dan meraih tas yang berada di atas kasur. Ia menutup pintu kamar, meninggalkan ruangan kesayangannya untuk beberapa jam ke depan.

"Selamat pagi, Mama."

"Selamat pagi, Papa."

Kedua orang tuanya tersenyum, melihat wajah Dilara yang terlihat lebih cerah daripada biasanya. Perempuan berkuncir kuda itu menenggak segelas susu, yang sudah disediakan oleh Mamanya.

"Anak Papa kayaknya bahagia banget hari ini." Papanya buka suara. Jujur, ia merasa sangat senang karena melihat putrinya bersikap seperti ini.

"Iya nih, Mama juga ngerasa kayak gitu," timpal Mamanya.

Dilara meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja, ia mengusap bibirnya menggunakan tangan. "Emang biasanya wajah Dilara kayak apa?" Matanya bergantian melirik kedua orang tuanya.

"Kamu itu ...."

"Jutek kayak ketek!" Perkataan Azra, membuat raut Dilara kembali jutek. Adiknya yang satu ini, memang paling pandai--merusak moodnya.

Papanya menahan tawa. Laki-laki berkaca mata itu, menghentikan kegiatan makannya. "Sudah, sudah. Lebih baik kalian berangkat, nanti takut telat."

Dilara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang