6. Biei Station

5 0 0
                                    

Gadis itu berdiri menghadap jalan dan membelakangi Biei Station. Hari ini gadis itu berpakaian Slip dress bermotif floral yang dipadukan dengan kemeja putih polos, sneakers, tas kecil, dan entah apa isinya tapi ia juga membawa paper bag berwarna coklat. Sedangkan rambutnya ia biarkan tergarai.

Gadis itu melihat jam tangannya, ada sedikit keraguan dalam hatinya. Sekarang sudah pukul lima sore, apa mungkin ia bisa bertemu dengan pria itu?

Pagi tadi ia harus membantu bibinya, sehingga ia tidak bisa pergi menemui pria itu. Sebenarnya mereka masih bisa bertemu besok, tapi entah mengapa gadis itu ingin bertemu hari ini juga.

Baiklah, aku akan menunggu sampai jam lima. Batinnya.

Gadis itu jongkok disamping pintu masuk station. Diletakannya paper bag didepannya, sedangkan kedua tangannya memeluk kakinya. Ia terus memperhatikan jalan, berharap ia melihat pria itu, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya. Mungkin ia terlalu berharap banyak.

"Sedang menunggu apa disini?" tanya seorang pria. Tunggu, gadis itu mengenali suaranya.

Ia mengangkat kepalanya, melihat kesumber suara yang berdiri dihadapannya. Mulut gadis itu membentuk huruf o saat mengetahui pria yang ditunggunya sekarang ada dihadapannya.

Senyum gadis itu melebar setelah ia berhasil berdiri. "Kau datang."

"Aku menunggumu saat pagi, tapi kau malah datang sore-sore begini?"

Gadis itu menggaruk tengguknya yang tidak gatal dengan tangan kiri yang tidak memegang paper bag. "Tadi pagi aku sibuk sekali. Maafkan aku."

Auriga tidak membalas, ia hanya tersenyum memandang gadis dihadapannya itu. Gadis itu mengajak Auriga makan karena gadis itu mengaku sejak pagi tadi ia belum ada makan sedikitpun. Auriga langsung mengangguk setuju, Auriga terlihat sedikit khawatir, bagaimana bisa gadis itu tidak makan sedari pagi.

Gadis itu tersenyum senang karena Auriga setuju, ia berjalan mendahului Auriga. Auriga menoleh ketempat parkir, ia tersenyum kepada Itzumi sebagai tanda terimakasih, karena Itzumi memberitahu Auriga kalau gadis itu sekarang berada di Biei Station, akhirnya mereka berdua dapat bertemu.

Gadis itu bersenandung selama berjalan, ia membiarkan Auriga mengikutinya dibelakang.  Karena jalan yang tidak terlalu ramai, Auriga samar-samar dapat mendengar suara gadis itu. Gadis itu sepertinya menyanyikan lagu yang tidak diketahui Auriga, dan meskipun samar-samar, Auriga dapat memastikan kalau gadis itu memiliki suara yang bagus.

Mereka telah sampai di Cafe Junpei, gadis itu duduk disalah satu meja. Auriga memesan makanannya, begitupun dengan gadis itu, ia memesan tempura udang dan kari. Saat mereka sedang menyantap makanan, mereka menceritakan kembali awal mula mereka bertemu. Sesekali mereka tertawa bersama karena menemukan satu hal yang lucu.

"Ah aku kenyang," gadis itu kembali tersenyum senang. Ia mengambil sesuatu dari dalam paper bagnya. Sketchbook, pinsil dan penghapus.

"Kau bisa menggambar?"

Gadis itu menatap Auriga. "Hobi," gadis itu menggambil ponsel Auriga yang diletakkan diatas meja. Ia membuka kamera dan mengambil gambar Auriga setelah memaksa Auriga tersenyum.

"Aku akan menggambarmu. Akan melelahkan jika aku menyuruhmu untuk berpose, jadi lebih baik aku menggambar dari fotomu saja."

Gadis itu terlihat mulai menggambar, sedangkan Auriga memilih diam, memperhatikan wajah gadis itu yang sedang serius menggambar.

Beberapa menit telah berlalu, mereka masih sibuk pada dunianya masing-masing. Sampai gadis itu mengeluarkan suara karena terkejut. Ia menatap Auriga sembari langsung mencondongkan badannya agar dapat melihat wajah Auriga secara dekat.

"Kau memiliki hidung yang mancung," tunggu, gadis itu menyadari sesuatu. Posisi wajah mereka saat ini begitu dekat. Gadis itu menyadari jantungnya berdetak sangat kencang.

Untuk beberapa saat Auriga menahan napasnya saat wajah gadis itu sangat dekat dengannya, ia berani bersumpah detak jantungnya sangat cepat sampai ia takut gadis itu dapat mendengarnya. Ia menempelkan jari telunjukkan pada kening gadis itu dan mendoronya agar kembali keposisinya semua.

Suasana sedikit canggung, Auriga terpaksa harus ke toilet untuk keluar dari suasa canggung itu.

Saat Auriga kembali, gadis itu sudah menyelesaikan gambarnya. Ia memperlihatkannya pada Auriga. Sepertinya mereka sudah tidak canggung lagi.

Auriga memperhatikan gambarnya, ia mengacungkan jempolnya pada gadis itu. Gambar gadis itu sangat bagus, gadis itu benar-benar berbakat dalam menggambar.

Mereka memutuskan pulang saat menyadari sekarang telah pukul delapan malam. Mereka berjalan ke Station dalam diam, Auriga berjalan dibelakang gadis itu seperti tadi sore.

Tepat saat mereka sampai di depan Biei Station, gadis itu berhenti untuk menatap langit, Auriga juga ikut melihat apa yang dilihat gadis itu. Langit Biei, Hokkaido. Bulan dan penuh dengan banyak bintang, indah. Pemandangan yang tidak mungkin bisa dinikmati di kota-kota besar seperti Tokyo.

Gadis itu membalikkan badannya untuk bisa menatap Auriga. Ia mengambil sketchbook dari dalam paper bag dan mengulurkan tangannya, memberikan paper bag itu pada Auriga yang berdiri empat langkah didepannya.

Auriga mendekat untuk mengambil paper bag itu, jaket yang dipinjamkannya pada gadis itu ada didalam paper bag itu.

"Aku mengembalikannya. Terimakasih."

Terlihat Auriga sedikit berpikir, menimbang-nimbang apakah ia harus melakukan sesuatu yang sedang ia pikirkan. Tetapi ia merasa, mungkin ini waktu yang tepat.

Auriga mengambil sesuatu dari saku celananya, setelahnya ia meraih tangan kiri gadis itu. Ia memasang sesuatu dijari manis gadis itu. Cincin.

Mata gadis itu membulat, ia melirik leher Auriga. Pria itu kini tidak memakai kalungnya lagi, padahal pria itu terlihat tidak pernah melepaskan kalungnya.

Auriga masih menggenggam tangan gadis itu. "Jangan memberikan cincin ini pada orang lain, apalagi sampai menjualnya," ia menatap lekat mata gadis itu. "Ini sangat berharga untukku, jadi kau harus menjaganya."

Gadis itu masih mematung, ia tidak memikirkan apapun, ia juga tidak bisa berkata-kata. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi.

Auriga mengahapus jarak diantara mereka, ia menangkup kedua pipi gadis itu, menunduk untuk menatap gadis itu, kemudian mencium bibir gadis itu. Hanya menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu, dan itu berlangsung hanya tiga detik karena Auriga menyadari perbuatannya. Itu adalah sesuatu diluar kendalinya, ia tidak bisa memikirkan apapun.

Jantung mereka berdua berdebar sangat kencang. Gadis itu merasa pipinya memerah. Dan ya, tentu saja mereka kembali masuk dalam suasana canggung.

"Pulanglah." kata Auriga berusaha memecah keheningan.

Sedangkan gadis itu hanya mengangguk. Pipinya pasti sangat memerah sekarang.

Mereka membalikkan badan, berjalan saling menjauh beberapa langkah. "Hey teman!" gadis itu menoleh saat Auriga memanggilnya.

"Besok jangan lupa bertemu disini lagi!"

Lagi-lagi gadis itu hanya mengangguk.

"Jika kau ingin tahu perasaanku, kau bisa melihat cincin itu! Selamat malam!"

Auriga berjalan menjauh, sedangkan kesadaran gadis itu sepertinya sedikit demi sedikit mulai kembali. Dilihatnya cincin yang melingkar dijari manisnya. Oh, ada ukiran yang membentuk sebuah tulisan.

Do you know? I love you. Itulah kalimat yang ada pada cincin itu.

I love you? Dia memberikanku cincin berharganya padaku. Menciumku. Dia juga mengatakan perasaannya ada pada cincin. Dan cincin ini mengatakan I love you. Dia mencintaiku? Apa dia berusaha mengatakan dia mencintaiku? Pikirnya. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya gadis itu menemukan satu kesimpulan. Astaga! Gadis itu teriak kegirangan! Ia bahagia karena ternyata pria itu mempunyai perasaan yang sama.

Sedangkan senyum seorang pria diujung sana melebar saat melihat gadis itu teriak kegirangan.

Auriga: Ingatan dalam CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang