Salju putih yang terlihat seperti kapas terlihat di sepanjang jalan Sapporo dan Universitas Hokkaido, sekarang sudah memasuki musim salju di Jepang. Hokkaido adalah daerah di Jepang yang paling dingin dan memiliki waktu musim dingin paling lama. Salju terbaik juga ada di Hokkaido.
Hari ini pria itu sebenarnya tidak mempunyai kelas, namun karena sore ini ada deadline tugas kelompok yang harus ia dan teman-teman kelompoknya kerjakan, jadilah ia ke kampus tercinta ini. Mereka telah sepakat untuk mengerjakannya disalah satu kelas yang sedang tidak dipakai mahasiswa lain.
Pria itu mengayuhkan sepedanya dengan santai sambil menikmati suasana musim dingin, ia tampak menggunakan headphone berwarna hitam dan menggunakan tas punggung yang juga berwarna hitam.
Ketenangan yang ia rasakan ternyata tidak berlangsung lama, pria itu terkejut saat ada seorang gadis dari belakang yang melaju sangat cepat dengan sepedanya. Jalan ini memang termasuk sepi tapi jika gadis itu mengayuh sepedanya dengan kekuatan penuh, hal buruk bisa saja terjadi kan. Apalagi jalanan termasuk licin karena salju.
Pria itu menghentikan sepedanya lalu melepas headphone, membiarkannya melingkar dilehernya. Sekarang ia dapat mendengar suara gadis itu berteriak kegirangan. "Pelan-pelan!" teriaknya.
Siapapun gadis itu, apa yang dilakukannya sangat berbahaya. Ia bisa saja mencelakai orang lain, dan tentu saja dirinya sendiri. Mengayuh sepeda dengan cepat pada musim dingin, bukankah itu adalah hal bodoh? Jalanan tentu saja licin.
Braak!!!
Pria itu terkejut lalu segera mengayuh sepedanya, menghampiri gadis tadi yang terjatuh. Baru saja diperingatinya. Wajah gadis itu terlihat memerah menahan sakit, sedangkan pria tadi berjongkok didepannya. Celana gadis itu terlihat robek sedikit pada bagian dengkul, ia juga mendapatkan beberapa luka ditangannya.
"Ayo ke rumah sakit," kata pria setelah melihat gadis itu terluka.
Gadis itu menggeleng. "Aku bisa mengurusnya, lagipula aku harus segera berkumpul dengan temanku. Ada tugas kelompok yang harus diselesaikan sebelum sore."
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, ada obat dan plaster. Ia memberikannya pada gadis itu. "Jangan lupa mengobatinya, kau bisa saja infeksi jika membiarkan luka-luka itu begitu saja."
"Terimakasih, Auriga."
Pria itu menatap gadis yang saat ini tersenyum padanya. Seketika ia menyadari bahwa gadis itu adalah gadis yang ada di parkiran sepeda kemarin.
"Kau tahu namaku?" Auriga membantu gadis itu berdiri.
"Ken memberitahuku," ia menjulurkan tangannya. "Namaku Lunar."
Auriga menaikkan satu alisnya saat mendengar gadis itu menyebut nama Ken, lalu ia menjabat tangan Lunar. "Aku Auriga."
Mungkin, kita seharusnya sudah melakukan ini sewaktu di Biei. Batin Lunar. Ada sedikit rasa sesak didadanya.
Mereka berjalan beriringan, tidak ada yang bersuara, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Lunar berjalan dengan sedikit menggeret kaki kirinya yang terluka, tentu saja Auriga mengetahuinya. Namun sepertinya pria itu enggan berkomentar.
Jantungnya kembali berdebar. Beberapa kali Auriga sempat menahan napasnya sebelum ia mencium harum parfum Lunar. Parfum itu terasa familiar, tapi ia sama sekali tidak ingat apa-apa tentang itu.
Ponsel Auriga dan Lunar berdenting bersamaan, satu pesan masuk dari Ken.
Tempat berkumpul diubah hahaha
Kita bertemu di perpustakaan ya! Mengerjakan tugas di sini lebih nyaman.Begitulah isi pesan Ken. Mereka saling pandang. "Dari Ken?" tanya keduanya berbarengan.
Mereka terlihat sama-sama terkejut atas kekompakannya, lalu tawa mereka terdengar. Mereka tidak menyadari bahwa mereka satu kelompok dengan Ken untuk mengerjakan tugas ini.
Setelahnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan. Mereka kembali diam, tidak tahu harus mengatakan apa. Beberapa kali Lunar melirik Auriga.
Sebenarnya tadi Lunar sengaja mengayuh sepedanya dengan cepat saat melihat Auriga berada didepannya. Ia pikir, ingatan Auriga bisa sedikit kembali saat merasakan kejadian sama seperti yang pernah mereka lalui di Biei. Namun sepertinya itu tidak berhasil. Auriga terlihat biasa saja, pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda ia mengingat sesuatu.
Auriga dan Lunar menghampiri Ken saat Lunar sudah selesai mengobati lukanya.
"Kalian datang berdua?" tanya Ken saat kedua temannya telah duduk.
"Tidak sengaja bertemu dijalan," jawab Auriga.
Mata Ken mengarah ketangan Lunar yang diplaster dibeberapa bagian. "Kau kenapa?"
Lunar membuka mulutnya namun Auriga mendahuluinya. "Dia pikir dia pembalap."
Ken menganggukkan kepalanya, mengerti maksud Auriga. "Dia memang selalu mengayuh sepedanya dengan cepat."
Wajah Lunar memerah, ia malu. "Ayo segera selesaikan tugas kita."
Pengalihan Lunar seratus persen berhasil, meskipun awalnya Auriga dan Ken sempat menertawakannya, namun sekarang kedua pria itu mulai sibuk membagi tugas agar lebih cepat menyelesaikannya.
Kurang lebih sudah dua jam mereka sibuk mengerjakan tugasnya. Auriga dan Lunar menghentikan kegiatannya saat Ken mulai bersuara. Ken mengajak mereka berdiskusi tentang satu masalah.
Sorot mata Auriga mengarah pada jari manis Lunar yang berada diatas meja. Auriga merasa mengenal cincin itu. Ia menajamkan matanya, ia dapat melihat ada ukiran pada cincin yang dipakai Lunar. Dan dengan sangat amat yakin, Auriga memastikan kalau cincin itu adalah cincin miliknya.
Tangan Auriga mengepal, ia menahan diri untuk tidak bereaksi. Padahal saat ini ia ingin sekali meminta Lunar melepaskan cincin, atau jika gadis itu menolak, Auriga tidak akan segan-segan memaksa gadis itu memberiknan cincinnya. Bagaimanapun caranya.
Lunar menarik tangan kirinya, disembunyikannya dibawah meja. Gadis itu menyadari Auriga memperhatikan cincinnya. Seharusnya ia biarkan saja Auriga tahu cincin miliknya ada pada Lunar, tetapi entah mengapa Lunar tidak ingin Auriga tahu.
Ada rasa takut jika nanti Auriga meminta cincinnya kembali dengan alasan ia tidak dapat mengingat apapun tentang Lunar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Auriga: Ingatan dalam Cincin
Romance"Bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang berbeda?" Gadis itu menautkan alisnya pertanda ia sedang bingung, ia hanya diam menunggu pria dihadapannya melanjutkan kalimatnya. "Mari berteman tanpa harus berkenalan," Pria itu tersenyum penuh arti, me...