17. Jadilah Temanku!

5 1 0
                                    

Bunyi jarum jam memenuhi ruang perpustakaan, setiap orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mulai dari ada yang sibuk dengan laptopnya, ada yang membaca buku, dan ada juga yang sedang mengerjakan soal-soal.

Hari ini tidak terlalu banyak mahasiswa/i yang berkunjung ke perpustakaan, hal ini dikarenakan besok sudah memasuki libur musim dingin.

Perbedaan spesial Hokkaido dengan daerah Jepang lainnya, salah satunya adalah saat musim dingin. Musim dingin di Hokkaido cenderung lebih lama. Kalau di daerah lain, musim dingin bisa berlangsung selama tiga bulan. Sedangkan di Hokkaido, musim dingin biasanya sampai enam bulan lamanya.

Libur musim dingin di Hokkaido juga lebih lama daripada di daerah lain, tetapi di Hokkaido biasanya libur musim panas dan yang lainnya lebih singkat.

Lunar masih fokus pada apa yang sedang ia kerjakan, pinsilnya terlihat sibuk menari-nari diatas sketchbooknya, menciptakan sebuah gambar yang sesuai dengan keinginan pemiliknya.

"Kau sedang menggambar?"

Suara seseorang itu tepat berada dibalik lehernya, Lunar sedikit terlonjak kaget. Namun untung saja ia tidak menimbulkan suara berisik. Suara itu milik Auriga. Setelah berhasil membuat Lunar terkejut, Auriga dengan santainya duduk disamping Lunar.

Satu tangan Lunar memegang dadanya. "Kau hampir membuatku mati ditempat."

"Sedang menggambar apa?" Auriga mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin menanggapi protes yang dilayangkan Lunar.

"Suasana perpustakaan," ia terlihat kembali melanjutkan kegiatannya.

Auriga mengintip gambar Lunar yang hampir selesai. "Kau pintar menggambar."

Tidak ada respon, Lunar terlalu fokus pada gambarnya. Auriga menarik diri, melihat bagaimana Lunar fokus dengan gambarnya membuat Auriga tidak ingin mengganggunya.

Auriga meletakkan kepalanya diatas meja, ia sedikit melirik ke jari manis gadis itu, sudah tidak ada cincin lagi disana. Auriga memejamkan matanya, ia tidak cemas kalau ternyata cincin itu telah dijual Lunar. Perasaan Auriga mengatakan cincin itu aman ditangan Lunar.

Lunar melirik Auriga yang tertidur, gadis itu sedikit menyunggingkan seulas senyum. Ia baru saja menyelesaikan gambarnya, dan sekarang sepertinya ia sudah mendapatkan objek gambaran lagi.

"Wah diluar sangat dingin!" dua orang mahasiswa lewat didekat Lunar dan Auriga yang sedang tertidur.

Auriga terlihat terusik dengan suara mereka. Ia membuka matanya perlahan, dan menyenderkan badannya kesenderan kursi. Auriga melirik jam tangannya lalu mengerjapkan matanya saat menyadari telah tertidur selama tiga jam lebih.

"Oh pangeran tidur kita sudah bangun!"

Auriga menatap Lunar yang masih duduk disampingnya, gadis itu juga masih setia dengan pinsil ditangannya dan sketchbook ditangan satunya. Ia terlihat menggoreskan beberapa bagian pada bukunya sebelum akhirnya ia meletakkan pinsilnya diatas meja.

"Kenapa tidak membangunkanku?"

Lunar menyipitkan matanya melihat maha karyanya. "Aku sudah membangunkanmu."

"Benarkah? Aku bukan type yang susah dibangunkan saat tidur."

Gadis itu menggangguk yakin. "Aku sudah membangunkanmu dalam hati."

Auriga menghembuskan napasnya, sudah diduganya Lunar tidak membangunkannya. "Apa kau sudah selesai menggambar?"

Lunar menunjukkan hasil karyanya pada Auriga, pria itu terlihat kaget saat melihat gambar Lunar. Dirinyalah yang ada dibuku Lunar, Auriga yang sedang tertidur dengan pulas di perpustakaan. Auriga tersenyum menatap Lunar dengan ekspresi memelas yang malah membuat Lunar tertawa.

"Libur musim dingin, kau ingin ke mana?" tanya Auriga setelah mengembalikan buku itu pada Lunar.

Lunar terlihat mengangkat bahunya. "Aku belum memikirkannya."

"Bagaimana kalau berlibur denganku?"

Lunar mematung mendengar tawaran Auriga. Berlibur? Dengan Auriga? Bukankah ini seperti saat di Biei?

Melihat Lunar yang tidak menanggapi tawarannya membuat Auriga menggaruk tengkuknya tang tidak gatal. "Aku hanya ingin menjadi temanmu, bagaimanapun kan kita teman sejurusan."

"Kalau begitu jadilah temanku."

Kalimat Auriga saat di Biei kembali berputar diotak Lunar. Apa yang Auriga katakan di Biei memang berbeda dengan apa yang barusan dikatakannya, namun keduanya mengandung makna yang sama!

Mata Lunar menatap lurus Auriga, jantungnya kembali berdebar. Ia berharap, Auriga mengingat semuanya. Namun sepertinya ia tidak seharusnya berharap lebih, Auriga tidak menunjukkan tanda-tanda ia mengingat sesuatu.

Kenapa mengingatku begitu sulit untukmu? Batin Lunar lirih.

"Apa aku salah bicara? Kenapa kau jadi diam begitu?" tanya Auriga merasa tidak enak terhadap Lunar.

Lunar menurunkan pandangannya, ia tersenyum miris. "Tidak! Tidak ada yang salah. Terimakasih sudah mengajakku berteman, Auriga. Kalau begitu, mulai sekarang, jadilah temanku."

Senyum kemenangan terlihat diwajah Auriga. Ia nyaris saja berteriak kegirangan kalau saja tidak ingat sekarang mereka sedang berada di perpustakaan. Tadinya saat melihat Lunar diam saja, Auriga sempat berpikir Lunar tidak akan mau berteman dengannya. Ternyata dugaannya salah!

Auriga memberikan ponselnya pada Lunar. "Berikan aku nomor ponselmu."

Setelah memberikan nomornya, Lunar segera mengembalikan ponsel itu kepada Auriga. Lunar menyadari ponsel Auriga tidak sama dengan ponselnya sewaktu di Biei, Lunar berani bertaruh, pasti Auriga tidak tahu kalau diponselnya yang lama banyak sekali foto mereka berdua saat berada di Biei.

"Aku akan menghubungimu nanti. Kau harus temani aku menghabiskan libur musim dingin ini, dan tentu saja yang paling penting temani aku menyelesaikan studi S1 ini," Auriga menyimpan ponsel disaku celananya. "Sampai nanti, Lunar."

Satu langkah untuk mendapatkan cincin itu kembali. Pikir Auriga.

Auriga: Ingatan dalam CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang