7. Perpisahan

3 0 0
                                    

Pukul sepuluh kurang lima menit. Auriga melihat pantulan dirinya dicermin, setelah pengakuan mendadaknya tadi malam ia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan hari ini akan bertemu lagi dengan gadis yang berhasil merebut hatinya.

Ia mengambil jaket yang pernah dipinjamkannya pada gadis itu kemudian dikenakannya. Harum parfum gadis itu seperti menari-nari dipenciumannya.

Auriga bergeming saat ponselnya berdering, panggilan dari Yamato. Ia segera menerima panggilan itu. Mata Auriga melebar setelah mendengar perkataan Yamato diujung telepon sana, dan beberapa detik kemudian Itzumi datang dengan keadaan panik.

Dunia, jantung dan pikirannya, semua seperti terhenti begitu saja. Sejak dulu kebahagiaan yang ia rasakan tidak pernah bertahan lama. Kalimat itu terus saja berputar dikepalanya, menyiksanya. Tanpa sadar air matanya jatuh.

***

Ini sudah kesekian kalinya gadis itu melirik jam tangannya, gadis itu terlihat gusar karena pria yang ditunggunya tidak juga datang. Sudah satu setengah jam ia menunggu.

Beberapa kali ia sempat salah menegur seseorang yang dikiranya adalah pria itu. Setelah apa yang terjadi kemarin malam, apa alasan pria itu tidak datang --selain sibuk tentunya--.

Apa pria itu menjahilinya? Mungkin pria itu tidak benar-benar mencintainya. Tapi pria itu menciumnya! Pria itu tidak terlihat sebagai pria mesum. Pria itu mencium pasti karena memang mencintainya.

Tunggu! Gadis itu memegang pipinya saat kejadian dimana pria itu menciumnya kembali berputar diotaknya. Pipinya kembali panas, dia benar-benar malu. Dan senang tentu saja!

Sudah lewat setengah jam dari batas seharusnya menunggu. Gadis itu menghembuskan napasnya dan berlahan berjalan menjauhi Biei Station. Mungkin pria itu berhalangan datang hari ini. Pikirnya.

Ia berjalan memasuki rumah, dilihatnya bibi sedang berbicara dengan seseorang ditelepon entah dengan siapa. Saat ia hendak masuk ke kamar, bibi memanggilnya. Bibi memberikan telepon pada gadis itu, tanpa suara bibi mengisyaratkan panggilan itu dari ibunya.

"Hallo bu," gadis itu tersenyum. "Aku bersenang-senang, tentu saja. Tapi apa ibu baik-baik saja? Suara ibu terdengar sedikit berbeda."

Entah apa yang dikatakan ibunya diujung telepon sana, sedangkan gadis itu melirik bibinya yang tidak beranjak dari tempatnya.

Gadis itu menutup teleponnya. "Ibu tidak mau memberitahuku. Apa ibu mengatakan sesuatu kepada bibi?"

Bibi mengangguk. "Dia sedang demam. Dia meminta untuk tidak memberitahumu."

Gadis itu terkejut saat mendengar perkataan bibinya. "Aku harus pulang sekarang."

Ibu memang selalu mengatakan jangan khawatir dan tidak apa-apa, padahal terkadang ibu sangat memerlukan bantuan.

Setelah mengemas barang-barangnya, gadis itu segera pergi ke Biei Station. Kebetulan sekali ada jadwal kereta ke Sapporo siang ini.
Saat sampai di depan Biei Station, gadis itu mengedarkan pandangannya kesekeliling Biei Station yang penuh dengan kenangan, ada perasaan sedih menjalar dihatinya.

Bahkan aku tidak sempat pamit. Dan bukankah seharusnya kita menepati janji untuk berkenalan sebelum akhirnya berpisah? Ia menghembuskan napasnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Biei menuju Sapporo.

Gadis itu melihat cincin dijari manisnya. Sudah beberapa jam berlalu, sebentar lagi ia akan sampai Sapporo, meninggalkan pria itu dan kenangannya di Biei. Ia benar-benar terlihat murung, bukan karena perpisahan ini, terlebih karena ia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.

"Aku tadi membaca berita. Anak dari pasangan pemilik Akira Group mengalami kecelakaan tadi siang di daerah Bibai," kata seorang wanita berambut panjang dengan temannya yang kebetulan sedang lewat didekat gadis itu.

"Aku juga membaca beritanya, satu orang tewas ditempat kan. Kecelakaannya benar-benar parah."

Gadis itu melirik dua wanita itu yang sekarang sudah menjauh, kemudian Ia menghembuskan napasnya.

Auriga: Ingatan dalam CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang