11. Sesuatu yang Terlupakan

3 1 0
                                    

Dentingan ponsel membuat Auriga bergeming, ia segera menghentikan kegiatannya menonton televisi. Diambilnya ponsel yang tergeletak di meja, ini adalah ponsel barunya. Yamato segera membelikan ponsel baru saat mengetahui ponsel lamanya telah rusak saat kecelakaan itu terjadi.

Satu pesan masuk dari Ken. Ken mengirimnya foto saat Sakura terjatuh dengan konyolnya disaat upacara penerimaan mahasiswa baru. Entah darimana Ken mendapatkan foto itu, namun foto itu berhasil membuat Auriga tertawa.

Tawa Auriga sedikit demi sedikit mulai memudar, ada perasaan mengganjal dihatinya. Auriga mungkin dapat mengingat nama Ken dan Sakura, tetapi ia sama sekali tidak bisa mengingat kejadian selama di SMA. Ia bahkan tidak tahu bagaimana sifat keduanya. Dan Sakura, Auriga memang mulai menerima Sakura sebagai kekasihnya, tetapi entah mengapa ia tidak dapat merasakan hatinya menyukai Sakura. Ia seperti kosong, hampa.

"Sedang memikirkan apa?" Yamato duduk didepan Auriga, yang membuat Auriga tersadar dari lamunannya.

Auriga tersenyum sembari menggeleng. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ia tanya pada Yamato. Tentang kecelakaannya, tentang apa yang sedang ia lakukan sebelum kecelakaan, tentang hubungannya dengan Sakura, dan banyak hal lainnya.

Tetapi Auriga memilih untuk tidak bertanya. Ia hanya menunggu, menunggu Yamato menceritakan semua padanya. Auriga mempercayai Yamato. Jika sampai saat ini Yamato belum menceritakannya, itu berarti Yamato masih butuh waktu lebih --entah mengapa harus seperti ini-- tetapi ia percaya Yamato.

Jikapun Yamato tidak akan menceritakannya, ia tetap tidak akan mendesak. Yamato pasti mempunyai alasan mengapa melakukannya. Ia hanya harus menunggu dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, Yamato akan menceritakannya. Atau kemungkinan kedua, menunggu sampai ingatannya kembali. Apapun itu, Auriga tidak peduli.

Auriga menyentuh lehernya, ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia menatap lurus kedepan, menatap mata Yamato. "Dimana kalungku?"

Auriga tidak sadar, sejak kapan ia tidak memakai kalung cincinnya lagi. Tidak! Cincin itu tidak boleh hilang. Itu adalah cincin pemberian terakhir ibunya, cincin itu berharga. Gimanapun caranya ia harus menemukan cincin itu.

Sedangkan pria dihadapan Auriga juga sama terkejutnya dengannya. Yamato menaikkan satu alisnya. Ia tidak yakin tentang kalung cincin Auriga, ia tidak pernah memperhatikan itu selama Auriga di rumah sakit.

Seingat Yamato, pihak rumah sakit tidak ada memberikannya kalung Auriga, begitupun dengan polisi yang menangani kasus kecelakaan Auriga dan Itzumi. Polisi hanya menberikannya ponsel dan tas Auriga dan beberapa barang Itzumi yang ditemukan di lokasi kecelakaan.

Auriga berlari ke kamarnya, ia mencari disetiap sudut kamarnya. Mulai dari tempat tidur, kolong tempat tidur, lemari pakaian, rak buku, meja belajarnya, sampai matanya tertuju pada box disamping meja. Ia mengambil box itu, membuka isinya. Namun hasilnya nihil, didalam box itu hanya ada jaketnya yang robek dibeberapa bagian dan ponselnya yang rusak. Tidak ada kalung cincin itu disana.

Auriga berlari menuju dapur, dilihatnya Oba sedang memasak. "Oba."

Oba menoleh, tersenyum kepada suara yang memanggilnya. "Apa Oba melihat kalungku? Setidaknya cincin itu, cincin pemberian mama."

"Oba tidak melihatnya." jawab Oba bingung.

"Saat membereskan rumah apa Oba benar-benar tidak menemukannya?" tanya Auriga tidak mau menyerah.

Oba menggelengkan kepalanya, jika ia menemukan sesuatu ia pasti langsung akan memberikannya pada Auriga. Apalagi ia tahu cincin itu adalah cincin yang sangat berharga untuk Auriga.

"Aku sudah mengeceknya," Yamato datang dengan ponsel ditangannya. "Aku menelepon rumah sakit tempatmu dirawat, para suster yang menerimamu pertama kali saat kau dibawa ke rumah sakit mengatakan kau tidak memakai kalung."

Kening Auriga mengerut. Meskipun beberapa memori ingatannya hilang, tapi ia masih ingat kalau kalung itu tidak pernah dilepasnya. "Aku selalu menggunakan kalung itu kemanapun dan dimanapun!"

"Aku juga tadi menelepon polisi yang menangani kasus kecelakaanmu," Yamato menatap Oba dan Auriga bergantian. "Mereka juga mengatakan kau tidak memakai kalung."

"Mustahil!"

"Saat kecelakaan itu, mungkin saja kalungnya terlepas dan terjatuh disuatu tempat," pandangan Auriga dan Yamato beralih ke Oba.

Yamato menggelengkan kepalanya. "Polisi tidak menemukan kalung disekitar lokasi kecelakaan."

"Mungkin seseorang sudah mengambilnya. Kita tidak tahu, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi."

Perkataan Oba membuat kepala Auriga sakit, ia mengacak rambutnya dengan kedua tangannya. Jika apa yang dikatakan Oba benar, kemungkinan kecil cincin itu akan kembali ketangan Auriga. Itu tidak boleh terjadi!

Melihat Auriga seperti itu membuat Yamato dan Oba khawatir, mereka harus menenangkan Auriga. Dan tentu saja mencari kemana cincin itu pergi, bagaimanapun caranya, mereka harus mendapatkan cincin itu kembali.

"Kau harus tetap tenang, Auriga. Kita tidak bisa mencari cincin itu jika tidak tenang," dilihatnya Auriga menghentikan aktifitasnya dan pandangannya mengarah ke Yamato. "Aku akan mencari cincin itu. Mungkin aku harus mulai mencari di sekitar lokasi kecelakaan, dan mengecek cctv."

"Oba akan membantu mencari di sekitar rumah."

Secara bergantian Auriga menatap Yamato dan Obi. Perasaannya sudah sedikit tenang sekarang. "Kita harus menemukannya."

Yamato tersenyum sedangkan Oba menggangguk setuju. Apapun yang terjadi, cincin itu harus kembali kepemiliknya. Cincin itu harus kembali ke Auriga.

Auriga: Ingatan dalam CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang