"Kalau begitu jadilah temanku."
Apa yang sebenarnya dipikirkan Auriga? Seumur hidupnya ia tidak pernah mengajak seseorang untuk berteman, entah karena ia benar-benar tidak mengerti caranya berteman atau hanya karena selama ini tidak ada satu orangpun --kecuali Yamato-- yang berhasil menarik perhatiannya.
Tetapi dengan gadis ini, gadis yang baru saja bertemu dengannya, dapat langsung menggerakkan hati Auriga. Gadis yang memiliki senyum yang secerah matahari. Hati Auriga berdebar hanya karena melihatnya tersenyum.
Senyum gadis itu semakin melebar, ia mengangguk setuju. Didekatinya Auriga. "Ayo kita berfoto bersama sebagai tanda bahwa kita telah berteman," Memang, sedari tadi Auriga hanya memotret gadis itu, hanya gadis itu.
"Apa kau seorang fotografer? Foto-fotomu bagus."
Auriga memasukkan ponselnya disaku celananya. "Aku hanya hobi."
Gadis itu menggangguk. "Siapa namamu?"
Auriga diam, ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas dipikirkannya. Mungkin sesuatu yang kedengarannya akan gila? Atau bahkan konyol? Entahlah. "Bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang berbeda?"
Gadis itu menautkan alisnya pertanda ia sedang bingung, ia hanya diam menunggu pria dihadapannya melanjutkan kalimatnya.
"Mari berteman tanpa harus berkenalan," Pria itu tersenyum penuh arti, membuat gadis itu penasaran dengan isi otak pria ini, apa yang dia pikirkan? "Dan kita hanya boleh berkenalan saat kita akan berpisah nanti."
Beberapa detik berlalu sebelum tawa gadis itu terdengar, "Baiklah. Kita tidak perlu tahu nama satu samalain, tempat tinggal sebenarnya, lalu ...," gadis itu terlihat berpikir. "Itu saja cukup kan?"
Auriga menggangguk. "Dimana penginapanmu?"
"Aku akan menginap di Biei," jawab gadis itu
Auriga melirik jam tangannya, sekarang sudah pukul lima kurang sepuluh. Sebentar lagi Bukit Shikisai akan tutup. "Akan aku antar ke Biei. Penginapanku juga disana."
Gadis itu tidak menjawab, tepat sebelum Auriga menoleh, gadis itu sudah meluncur dengan sepedanya. "Cepat atau kau akan tertinggal!" teriaknya.
Auriga menaikkan satu alisnya, gadis itu sepertinya suka sekali mengayuh sepeda dengan cepat. Apa dia pikir dia seorang pembalap? Batin Auriga yang segera mengayuh sepedanya mengikuti gadis itu.
"Pelan-pelan saja! Nanti kau bisa terjatuh!" teriak Auriga.
Setelah mengembalikan sepeda mereka ketempat penyewaan sepeda, mereka langsung menuju tempat parkir dimana Itzumi telah menunggu. Gadis itu menyapa Itzumi dengan sopan.
"Nanti tolong turunkan saja aku di Biei Station. Penginapanku tidak jauh dari situ," kata gadis itu saat mobil sudah jalan.
Itzumi melirik gadis itu. "Kenapa tidak langsung di penginapanmu saja?"
Gadis itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Kemudian ia menatap Auriga yang duduk disampingnya --mereka duduk dikursi belakang-- gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya, masih dengan senyuman diwajahnya. "Tadi kau mengatakan apa saat sedang bersepeda?"
Auriga menaikkan satu alisnya. "Pelan-pelan saja. Nanti kau bisa terjatuh."
Badan gadis itu mundur keposisi semula. "Bagus! Itulah yang selalu dikatakan seorang teman," ia tersenyum puas.
Sebenarnya dari Bukit Shikisai ke Biei Station hanya memerlukan waktu kurang lebih 11 menit, namun entah karena lelah, gadis itu tidur terlelap selama perjalanan. Auriga memperhatikan wajah gadis itu saat tertidur, dalam hati, ia tidak henti-hentinya mengagumi gadis itu. Itzumi hanya tersenyum diam-diam memperhatikan Auriga yang sepertinya tertarik dengan gadis itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Auriga: Ingatan dalam Cincin
Romansa"Bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang berbeda?" Gadis itu menautkan alisnya pertanda ia sedang bingung, ia hanya diam menunggu pria dihadapannya melanjutkan kalimatnya. "Mari berteman tanpa harus berkenalan," Pria itu tersenyum penuh arti, me...