Part 20

8.2K 626 25
                                    

Gio menghela napasnya. Dia mengelus rambut Zia lalu mengecup kening istrinya itu. "Kalau seandainya kamu hamil? Ya ga papa lah sayang. Kita terima aja. Lagian anak itu ada karena kita, masa ga diterima."

"Tapi aku belum siap Gioooo!"

"Kalau masalah siap atau gak siap. Jujur aku pun belum siap. Tapi jika seandainya dia benar-benar ada disini kita bisa apa selain menerima dia kan?" Gio menggerakkan tangannya menuju perut Zia. Dia kecup pipi istrinya itu. "Jadi jangan terlalu dipikirin ya sayang. Nanti aja kita cek buat mastiin. Yang pasti kalau kamu beneran hamil pun ga masalah. Toh kita udah nikah dan kamu bentar lagi juga lulus SMA. Aku rasa perut kamu ga begitu ketahuan membesar sampai beberapa bulan lagi nunggu kamu lulus. Itupun kalau kamu beneran hamil. Kalau engga kan beda lagi ceritanya."

"Tapi Gi-."

"Ssssttt... Ga ada tapi-tapian ya sayang. Kamu percaya sama aku kan? Ada aku di samping kamu. Kita pasti bisa melewati ini sama-sama. Jangan takut lagi ya," bujuk Gio. Dia membingkai wajah Zia dengan kedua telapak tangannya. Lalu dia sentuhkan hidung mereka berdua.

"Udah mending kita istirahat," ajak Gio yang hanya diangguki oleh Zia. Mereka berdua pun merebahkan diri di kasur dan bersiap untuk tidur. Gio sengaja menggerakkan tangannya mengelus rambut istrinya itu.

Gio mengecup rambut Zia. Dia mendekap istrinya itu ke dalam pelukannya. Matanya menatap langit-langit kamar seraya memikirkan kemungkinan kalau Zia sedang hamil.

Kalau ditanya masalah kesiapan, Gio memang belum siap. Umurnya masih muda dan dia masih ingin menikmati kebebasan. Tapi menikah dengan Zia sudah menjadi keputusannya. Jadi sudah seharusnya kan dia siap menerima risiko Zia hamil anaknya?

***

Keesokan paginya. Begitu terbangun dari tidurnya, Zia langsung saja turun dari kasur meninggalkan Gio yang masih terlelap. Dia masuk ke kamar mandi untuk mencoba test pack yang dia beli kemarin. Dia menunggu dengan harap-harap cemas. Dia takut hasilnya benar-benar positif.

Semua orang pasti ingin memiliki anak. Begitu juga dengan Zia. Dia ingin memiliki anak tapi bukan sekarang waktu yang tepat. Saat ini usianya masih begitu muda. Bahkan lulus SMA pun belum. Dia tidak siap menjadi ibu muda karena dia masih ingin melanjutkan sekolahnya sampai sarjana nanti.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Zia mengambil test pack dari celupan air seninya. Dia membilas test pack itu dan membuang sisa urinenya tadi. Bibirnya melafalkan doa agar dia tidak hamil dulu.

Deg

Mata Zia membelalak, jantungnya pun terasa berhenti berdetak begitu melihat garis yang tertera di test pack itu. Ternyata harapannya hanyalah tinggal harapan. Karena pada kenyataannya dia memang hamil. Test pack itu menampilkan dua garis merah.

Rasa syok dan tidak percaya masih melingkupi perasaan Zia. Dia benar-benar tidak menyangka kalau kini dia hamil. Di perutnya ada janin hasil buah cintanya dengan Gio.

Air mata langsung membasahi pipi Zia. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa atas kehamilannya ini.

"Sayang... Kamu di dalam?"

Zia menghapus air matanya saat mendengar suara Gio. Dia meletakkan test pack itu di atas wastafel lalu menghampiri Gio yang sedang mengetok pintu kamar mandi.

Cklek

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Gio heran. Dia bisa tahu kalau istrinya itu habis menangis. Langsung saja dia bawa Zia ke dalam pelukannya.

"Aku hamil Gi. Aku benar-benar hamil." Zia terisak dalam pelukan Gio. Dia benamkan wajahnya di dada Gio tanpa peduli kalau kaos yang dipakai suaminya itu akan basah karena air matanya.

"Kamu serius hamil?" tanya Gio. Dia terdiam saat melihat Zia menganggukan kepala dalam pelukannya.

"Aku takut Gi. Gimana kalau orang-orang di sekolah tau aku hamil? Gimana kalau ada yang ngomong macem-macem soal aku?"

"Sayang. Kamu jangan mikir yang enggak-enggak. Ibu hamil ga boleh stress. Apalagi kamu juga mau ujian."

Gio mendongakkan wajah Zia agar menatapnya. Lalu dia gerakkan tangannya untuk menghapus air mata Zia.

"Aku minta maaf karena kecerobohan aku sampai bikin kamu hamil. Tapi mungkin ini emang udah kehendak yang di atas sayang. Kita hanya harus menerima amanah ini. Kita lewati sama-sama ya. Kita belajar menyiapkan diri untuk menjadi orang tua. Kamu jangan sedih lagi. Lagian ga ada yag bisa ngomong macem-macem soal kamu. Karena kamu hamil pun anak suami kamu."

Gio kembali mendekap Zia ke dalam pelukannya. Dikecupnya berulang-ulang puncak kepala istrinya itu.

***

Zia sudah siap-siap dengan seragam sekolahnya. Melalui cermin dia memandangi penampilannya. Tangannya bergerak untuk menyentuh perutnya yang masih rata. Dia berpikir apakah bisa menutupi kehamilannya dari warga sekolah hingga dia lulus nanti?

Setelah selesai bersiap-siap. Zia pun keluar dari kamar bersama Gio. Mereka melangkah menuju ruang makan yang sudah ada anggota keluarga mereka.

"Gimana Zi?" bisik Keisha pelan pada Zia.

"Positif," sahut Zia pelan. Sontak saja Keisha yang mendengarnya pun terkejut. Dia tidak menyangka kalau ternyata Zia benar-benar hamil.

"Serius?" tanya Keisha lagi. Ziapun hanya menganggukan kepalanya saja.

"Kalian berdua ngomongin apa sih? Kok pada bisik-bisik?" tanya Kayla heran melihat gelagat anak dan menantunya itu.

"Ga ngomongin apa-apa kok ma," sahut Keisha tersenyum.

"Sudah ayo sarapan dulu,"

Mereka semua pun mengangguk dan mulai acara makan pagi itu.

Zia terdiam dan menutup mulutnya saat rasa mual itu datang lagi. Gio yang melihat itupun langsung menoleh pada istrinya. Dia menggerakkan tangannya mengusap punggung Zia. Hingga rasa mual itu tak tertahankan lagi, Zia pun memundurkan kursinya dan langsung berlari menuju toilet terdekat.

Felix dan Kayla saling pandang saat melihat Zia yang mual-mual seperti itu. Apalagi Gio juga langsung menyusul Zia ke toilet.

"Kei, jujur sama mama. Tadi kamu sama Zia bicarain apa?"

"Itu ma. Anu... Zia..."

"Zia hamil?" tanya Kayla langsung.

"Iya ma."

"Astaga. Apa sih yang ada di pikiran abang kamu sampai bisa bikin Zia hamil."

"Udahlah sayang. Mereka kan juga udah nikah," sahut Felix.

"Tapi Zia masih muda mas. Dia juga masih sekolah. Takutnya dia ga siap punya anak sekarang. Belum lagi apa kata orang tua Zia nanti. Mereka kan minta agar Zia ga hamil dulu. Paling tidak sampai dia sudah lulus sekolah."

"Itu nanti aja dipikirinnya sayang. Kan semuanya udah terlanjur juga kalau kita bakal punya cucu. Kita terima aja sih."

"Aku cuma ga yakin sama mereka mas. Zia masih sangat muda sedangkan Gio belum sepenuhnya dewasa. Mereka masih sama-sama labil dan ingin bersenang-senang. Gimana nanti cucu kita?"

"Sayang... Tugas kita itu cuma mendukung mereka. Kita harus yakin kalau mereka bisa. Kalau Gio akan belajar lebih dewasa karena sebentar lagi akan punya anak."

"Semoga aja mas."

Sementara itu Gio masih mengelus punggung belakang Zia. Dia mengumpulkan rambut Zia menjadi satu saat istrinya itu membersihkan mulutnya.

"Udah berhenti mualnya?" tanya Gio yang diangguki Zia. Gio mengambil tisu dan menyapukannya ke bibir Zia. Dia merasa kasihan melihat wajah Zia yang tampak pucat seperti ini.

Gio membawa Zia ke dalam pelukannya. Dikecupnya puncak kepala istrinya itu sayang. "Maafin aku ya sayang. Gara-gara aku kamu begini," lirih Gio pelan. Andai waktu itu dia lebih hati-hati mungkin Zia tidak akan hamil secepat ini. Tapi semuanya sudah terlanjur.

***

TBC

Ebook tersedia di Google Playstore

GIOZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang