Part 21

9.2K 554 23
                                    

Fino saling pandang dengan Bastian saat melihat Gio yang tampak aneh hari ini. Sahabat mereka itu terlihat seperti sedang melamun entah memikirkan apa.

"Lo kenapa sih Gi?" tanya Bastian menyenggol pelan bahu Gio untuk menyadarkannya.

"Eh gue ga papa kok."

"Alah. Bahasa cewek lo. Bilangnya ga papa padahal ada apa-apa." sahut Fino yang disetujui Bastian. "Jadi kenapa nih keliatan galau? Ga dikasih jatah sama Zia pasti?"

Gio menghela napasnya. Lalu dia menatap kedua sahabatnya itu. "Zia... Dia hamil."

"What?" kaget Fino dan Bastian serempak.

"Iya dia hamil."

"Kok bisa?" tanya Fino.

"Gue kelepasan ngeluarin di dalem. Eh ternyata jadi."

"Terus gimana? Lo ga ada niat buat gugurin anak lo sendiri kan?"

"Yakali gue mau gugurin anak gue Fin. Gue ga sebrengsek itu. Lagian gue sama Zia juga udah nikah. Ga papa lah dia hamil. Ya masalahnya tu gue cuma belum siap aja. Dia juga."

"Lo apa? Kalian udah nikah? Kok bisa? Ga ngundang-ngundang pula?" tanya Bastian beruntun. Dia terlalu kaget mendengar berita itu.

"Iya. Kita udah nikah beberapa bulan yang lalu. Pernikahan kita emang sengaja disembunyikan karena Zia masih sekolah."

"Pantesan Zia mau lo gituin kalau ternyata kalian udah nikah. Gila sih lo nikah ga bilang-bilang. Tapi kok tiba-tiba nikah?"

"Nyokap Zia mergokin kami hampir begituan. Jadi ya dinikahin lah."

"Gila sih lo Gi. Lagian anak orang masih SMA udah digituin aja. Sekarang hamil kan jadinya."

"Iya makanya itu gue bingung mesti gimana. Dia kayaknya beneran belum siap. Mana dia bentar lagi mau ujian. Gue takut dia stress dan berakibat pada konsentrasi sekolah dan kandungannya."

"Lo sendiri udah siap jadi ayah?"

"Siap ga siap gue harus siap. Soalnya semuanya udah terjadi."

***

Gio memasuki rumahnya setelah pulang kuliah. Hari ini jadwal kuliahnya tidak begitu padat sehingga dia pulang cepat. Zia juga belum pulang karena istrinya itu ada pelajaran tambahan di sekolah.

Memikirkan Zia membuat Gio khawatir takut istrinya itu mual-mual lagi. Melihat Zia yang tadi pagi seperti itu saja rasanya dia tidak tega. Apalagi kalau Zia harus mengalami morning sickness yang lumayan lama.

Semua ini memang karena kesalahannya yang begitu ceroboh hingga bisa membuat Zia hamil. Tapi semuanya pun sudah terlanjur. Tugas mereka hanya menerima dan menjaga janin yang ada dalam kandungan Zia dengan baik.

"Gio, kamu sudah pulang?" tanya Kayla saat melihat kedatangan anaknya itu.

"Iya, ma." Gio mendekati Kayla dan mencium tangan mamanya itu. Dia langsung bersimpuh duduk di hadapan Kayla.

"Maafin Gio ya ma, kalau Gio banyak salah sama mama. Gio belum bisa banggain mama sama papa. Tanpa kalian Gio ga ada apa-apanya."

"Mama sudah memaafkan kamu. Bagi mama kamu tetaplah anak laki-laki kebanggan mama. Sudah sini duduk mama mau bicara." Kayla menangkup wajah Gio lalu mencium kening putranya itu. Dia bawa Gio agar duduk di sampingnya.

"Bicara apa ma?" heran Gio.

"Jadi gini bang. Nenek kamu sudah tau kalau Zia sedang hamil. Nenek pengen kamu mulai kerja di perusahan mereka. Bantu-bantu dulu di sela kesibukan kuliah kamu sekalian belajar. Biar bagaimanapun mereka ingin kamu jadi suami yang bertanggung jawab. Bukannya papa sama mama ga mampu biayain kalian. Cuma mereka pengen kamu mulai mandiri bang."

"Gio ngerti kok ma. Gio juga emang ada rencana begitu sih sebenarnya. Apalagi sebentar lagi Gio bakal jadi ayah."

"Iya maksud mereka juga gitu. Kalau mama sih sebenarnya ga masalah. Yang penting bagi mama itu kamu lulus kuliah dulu. Tapi mereka maunya begitu."

"Iya ma. Makasih ya ma. Mama emang mama terhebat yang Gio punya."

"Kamu juga anak mama yang hebat."

***

Zia beberapa kali melamun dan tak fokus pada pelajarannya. Dia selalu kepikiran dengan kehamilannya. Dia juga masih tidak menyangka kalau kini dia sedang hamil. Dengan hati-hati dia menggerakkan tangannya menyentuh perutnya. Perutnya masih datar namun tak disangka kalau di dalam sana ada anaknya.

"Masih belum nyangka ya kalau dia ada di sana?" tanya Keisha pelan agar tidak ada yang mendengar.

"Iya Kei. Gue takut kalau gue ga bisa jadi ibu yang baik buat anak gue."

"Ga boleh ngomong gitu. Gue yakin lo bisa kok," sahut Keisha lagi. Zia pun hanya tersenyum dan mengangguk saja. Meskipun tetap saja ketakutan itu masih ada. Bukan perkara mudah baginya hamil di usia muda seperti ini.

***

Gio menggandeng tangan Zia dan membawanya memasuki rumah mertuanya itu. Sehabis pulang sekolah tadi tiba-tiba saja Zia mengajaknya kesini karena katanya kangen orang tuanya.

"Gio, Zia."

"Mama..." Zia langsung saja memeluk Nisa saat mamanya itu membuka pintu. Rasanya dia sangat merindukan wanita hebat yang sudah melahirkannya itu.

"Kamu tumben datang-datang langsung meluk mama begini?" heran Nisa. Dia memandang Gio meminta penjelasan tapi Gio hanya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dia bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Zia kangen mama."

"Yaudah ayo kita masuk dulu," ajak Nisa yang diangguki anak dan menantunya itu. Mereka pun melangkah masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah.

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Nisa lagi. Kali ini mereka sudah duduk di sofa dengan Zia yang menyenderkan kepalanya di bahu Nisa. Sementara Gio duduk di kursi lainnya.

"Mama jangan marah ya ma."

"Kenapa mama harus marah?" tanya Nisa heran. Dia menggerakkan tangannya mengelus rambut Zia. Putri satu-satunya itu kini sudah menjadi istri orang. Dia kerap kesepian tanpa ada Zia di rumah. Padahal anak dan menantunya itu pun masih sering mengunjunginya.

"Soalnya..."

"Soalnya?" tanya Nisa menunggu kelanjutan ucapan Zia.

Zia meneguk ludahnya dengan susah payah. Entah kenapa rasanya sulit sekali untuk memberitahu mamanya perihal berita kehamilannya. Dia takut mamanya marah karena dia hamil secepat ini. Padahal dia pun belum lulus SMA. Ini semua karena Gio yang mesumnya kebangetan.

"Soalnya Zia laper. Zia kangen masakan mama."

Zia lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Dia memutuskan untuk nanti saja memberitahu mamanya itu.

"Dasar kamu Zi!" kekeh Nisa. "Yaudah mama masak dulu deh. Kamu mau dimasakin apa?"

"Ayam asam manis enak deh kayaknya ma. Zia mau itu deh."

"Yasudah mama masakin dulu."

***

Gio dan keluarga Zia akhirnya makan malam bersama. Zia tampak lahap makan masakan mamanya. Dia bahkan sampai beberapa kali tambah nasi yang membuat mama dan papanya menatapnya heran.

"Tumben makan kamu banyak Zi?" tanya Raihan menyuarakan kebingungannya atas tingkah laku Zia yang begitu lahap memakan makanannya.

"Laper pa."

"Ya sudah ga papa. Kamu makan yang banyak. Gio juga ya."

"Iya ma," angguk Gio. Entah apa jadinya kalau orang tua Zia tahu penyebab Zia makan lahap seperti itu.

***

TBC

Ebook tersedia di Google Playstore

GIOZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang