Warning!!
Typo dan EYD berteberan!
Republish!!
.
.Tidak terasa sudah satu minggu Ata menjadi murid baru di sekolah barunya ini. Langkah kakinya yang terbalut sepatu putih membawanya menuju kelas. Seperti awal ia menginjakkan kakinya untuk pertama kali di sekolah ini, ia selalu datang saat hanya ada satpam sekolah dan beberapa orang kantin yang memang berjualan.
Sepi. Hanya itu yang ia rasakan ketika memasuki kelasnya dikoridor dua. Tas yang sering ia lihat ketika datang ke kelasnya sudah ada diurutan bangku paling belakang. Selama satu minggu ia bersekolah disini, selama itu pula Ata belum tahu siapa pemilik tas itu. Tapi sepertinya milik seseorang yang memiliki jenis kelamin laki-laki. Terlihat dari tas itu yang menggambarkan seorang cowok.
Duduk dibangkunya, Ata membuka tasnya. Mengambil buku yang belum sempat ia pelajari tadi malam. Sebagai seorang pelajar hidupnya yang merantau dari kampung halaman membuatnya cukup sulit utnuk membagi waktunya. Pagi hingga sore dirinya bersekolah, dilanjutkan dengan ia yang bekerja ditoko buku dari sore hingga jam sepuluh malam. Terkadang jika ada tugas, ia bawa ke tempat kerjanya. Ata tidak bisa belajar pada malam harinya, karena ia yakin tubuhnya yang lelah butuh istirahat.
Membenarkan kacamata bacanya, Ata mengalihkan tatapannya saat suara langkah kaki memasuki kelas saat jam dinding diatas papan tulis menunjukkan angka setengah tujuh.
"Pagi Citra," Ata menyapa dengan senyuman yang tersungging dibibirnya.
Citra yang dipanggil hanya melongos, dan menduduki bangkunya yang disebelah bangku Ata. Tidak menanganggapi sama sekali, ia sibuk dengan ponsel ditangannya.
Ata menunduk, ia kembali membaca buku pelajaran dengan napas pelan yang keluar dari mulutnya. Sudah biasa ia seperti ini, baik saat disekolahnya dulu maupun disekolahnya yang sekarang. Mungkin karena mereka memandang Ata yang menggunakan kacamata dan rambut yang sebahunya dikepang rendah. Cupu.
Menurutnya sendiri, ini tidak terlalu cupu untuk orang-orang katakan disekitarnya. Tetapi kenapa ia selalu merasa dikucilkan dan selalu diacuhkan. Meskipun seragam yang ia pakai bahkan lebih baik dari sebelumnya. Sebelum ia pindah ke sini, Ata sering menggunakan seragam dengan rok yang panjang mencapai mata kaki dengan seragam baju yang besar. Tapi lihatlah sekarang, tidak ada rok panjang maupun seragam kebesaran. Hanya ada rok selutut dan baju seragam yang tidak terlalu besar maupun kecil.
Bel pertanda masuk berbunyi, disusul dengan teman sekelasnya yang lain duduk dibangkunya masing-masing.
"Pagi Tia," Ata kembali menyapa saat teman sebangkunya duduk disebelahnya. Ata menunduk mengambil alat tulisnya saat Tia menatapnya dengan tajam. Ata tidak buta jika teman sebangkunya ini sangat tidak menyukainya.
Seharusnya Tia tidak perlu menuruti perkataan wali kelasnya untuk membagi meja dengannya jika perempuan disampingnya ini enggan untuk bertatap muka dengannya. Meliriknya saja sinis.
"Jangan sok akrab." Suara disampingnya membuat Ata menoleh dan melihat Citra yang sedang membuka bukunya diatas meja.
"Selamat pagi!" Ucapan perempuan didepan membuat atensi Ata teralihkan. Ia menatap guru didepannya yang sedang membuka buku pembelajarannya dan menatap seisi kelas dengan senyuman setelah mendengar seruan dari yang lain.
Guru yang terlihat masih muda itu berdiri didepan papan tulis dan menuliskan halaman buku. "Buka halaman 123. Kerjakan tugas ini satu kelompok dua orang. Minggu depan kumpulkan dan presentasikan didepan kelas." Jelas Bu Sivia dengan senyuman dan dibalas beberapa keluhan dari murid-muridnya.
"Sekarang, silahkan tentukan kelompok kalian masing-masing. Ibu beri waktu dua menit." Setalah Bu Sivia berkata seperti itu, sontak seluruh kelas ramai dengan seruan ajakan untuk satu kelompok.
Seharusnya mereka tidak perlu seperti itu, jika satu meja saja sudah ada dua orang untuk dijadikan satu kelompok, kenapa mereka seperti enggan untuk melakukkannya. Lihat saja sekarang, Tia yang sebangku dengannya saja sudah mendapatkan teman sekelompoknya.
"Oke waktu habis. Silahkan tulis nama kelompok kalian dan kumpulkan didepan, besok ada pelajaran Ibu lagi. Nanti Ibu akan tentukan masing-masing kelompok mendapatkan tugas yang berbeda." Paparnya menjelaskan. "Untuk sekarang kita habiskan dulu bab kemarin,"
Masing-masing dari kelompok maju untuk meletakan kertas yang berisi nama kelompok mereka masing-masing, tetapi Ata tidak tahu harus melakukannya atau tidak. Karena ia tidak mempunyai teman satu kelompoknya. Seharusnya mereka sudah pas jika harus mengerjakan kelompok untuk dua orang jika dihitung dengan tas yang tergeletak dibangku belakang. Tapi Ata bahkan tidak pernah sekalipun bertatap muka dengan pemilik tas itu.
Ata menghembuskan napasnya dan maju membawa kertas yang hanya diisi dengan namanya saja. "Maaf Bu, tapi saya tidak mempunyai teman satu kelompok dengan saya." Ujar Ata.
Bu Sivia menatap Ata sebentar, lalu mengalihkan atensi terhadap seluruh muridnya yang lain. "Tiara, kamu tidak bersama Renata untuk kerja kelompak ini?" Tanya Bu Sivia.
Tiara mengangguk, "tidak Bu. Saya tidak suka jika satu kelompok dengannya. Renata sok pintar dengan selalu mengerjakan tugas yang sering kita kerjakan. Bahkan dia tidak memberikan celah sedikitpun untuk saya menjawab." Adunya melirik sinis Ata.
Ata menatap Tia tidak percaya. Saat mereka satu kelompok dulu, Ata selalu membagi rata tugas kelompoknya dengan Tia. Tapi apa yang Ata dapatkan, hanya dengusan dan perkataan tajam yang dilontarkan Tia terhadapnya. Menyuruhnya mengerjakannya sendiri. Selalu seperti itu ketika mereka satu kelompok.
Bu Sivia menatap Renata yang masih beridiri, "Renata, tugas kelompok itu harus dikerjakan bersama. Ibu tahu kamu pintar, tapi tidak begitu juga caranya. Kamu bisa mengajari Tia atau teman kamu yang lain agar mereka yang tadinya tidak bisa, menjadi bisa."
"M-maaf, Bu." Ata menunduk saat suara sorakan terdengar ditelinga Ata. Ia sungguh tidak berniat sok pintar dengan mengerjakannya sendiri, itu murni karena rekan satu kelompoknya saja enggan membantunya.
"Semuanya diam!"
Hening.
"Sekarang kamu duduk dimeja kamu. Ibu ingin kamu satu kelompok dengan Ravaldo Kiandi."
Ravaldo Kiandi?
Nama yang setiap diabsen selalu ada kata 'tidak ada' yang Renata dengar satu minggu belakangan ini.
"Siapa, Bu?" Ata mencoba menyangkal jika nama yang dimaksud bukan si pemilik tas itu.
Bu Sivia tersenyum, "itu..." tunjuknya pada bangku paling belakang yang hanya terisi tasnya saja. "Dia yang akan menjadi teman kelompok kamu."
Pemilik tas itu?
Ravaldo Kiandi?
Seperti apa rupanya?
Bagaimana bisa Ata tahu jika selama ia bersekolah disini, belum satu kalipun ia melihat batang hidungnya?
-tbc-
Terima kasih yang masih mau ngikutin sampai pindah ke akun ini❣❣
Tandai ya kalau masih menemukan typo😉
12 juli 2020 (edited)
13 juli 2020 (republish)
KAMU SEDANG MEMBACA
Si cupu & Si Badboy (TAMAT)
Teen FictionPINDAH KE SINI! Hanya kisah seorang gadis remaja cupu yang tidak mempunyai tempatnya berteduh untuk berkeluh kesah tentang hidup yang tidak ia inginkan. Dan seorang remaja cowok bernama Ravaldo Kiandi yang hanya berpikir jika hidupnya hanya untuk sa...