Warning!!
Typo, EYD dan kalimat rancu bertebran!
.
.
.Setelah memberikan pengertiannya kepada Ata, Tasya pamit untuk melakukan tugasnya kembali sebagai dokter.
Setelah sepuluh menit berada diruangannya Tasya, Ata keluar dan menuju ke kamar inap tantenya lagi. Saat berada ditengah koridor, bahunya ditepuk pelan membuat Ata refleks langsung berbalik.
"Rava?"
Rava bedehem, memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana sekolahnya. "Dari mana?"
Ata kembali melangkah dan menjawab, "dari ruangannya Mbak Tasya." Rava mengikuti langkah Ata yang pelan disampingnya. "Kamu bawa apa?" Ata menolehkan kepalanya dan tak sengaja menangkap bingkisan ditangan kiri Rava.
Mengikuti arah pandang Ata, bukannya menjawab, Rava menyodorkan bingkisan itu ke arah Ata. "Buat lo,"
Ata berhenti melangkah, begitu juga Rava. Ata menatap papper bag yang bertuliskan merk ponsel terkenal di Indonesia, Ata baru sadar saat Rava menyodorkannya.
Menatap balik manik Rava, Ata mengernyit bingung. "Buat aku? Ponsel aku yang lama aja masih dikamu, kan?" Ata semakin bingung saat Rava menjauhi dirinya dan duduk dikursi tunggu.
Menepuk pelan kursi disampingnya Rava berucap, "duduk sini. Nggak malu lo berdiri terus kayak patung selamat datang?"
Ata meringis, menetap sekitar lalu menunduk dalam. Ia baru sadar. Ata melangkah mendekat, mengikuti Rava yang sudah duduk.
"Ponsel lama lo, gue pagang. Lo pake ponsel ini aja." Ujarnya menyerahkan ponsel yang sudah Rava buka dari kotaknya. "Gue nggak mau kalau tiba-tiba, Om lo telepon dan nggak nutup kemungkinan dia bakal nyari lo lagi."
Ata terdiam, menerima ponsel dari Rava dengan tangan bergetar. "I-ini..." menatap tak percaya ponsel yang sekitar harganya setara dengan gajinya tiga bulan--itu pun kalau Ata tidak makan, berada dalam genggamannya.
"Kartu lo gue ganti. Ada nomer gue, Denis, Citra, dan Tengku." Rava mengambil kembali ponselnya dan mengotak-atik sebentar, "Kalau ada apa-apa lo tekan aja angka satu, dan itu panggilan cepat buat ngubungin gue." Ujarnya seraya mencontohkan, dan tak lama ada ponsel yang berdering dari saku seragam Rava.
Ata hanya diam mengangguk-angguk saat Rava menjelaskan beberapa fitur dalam ponsel itu agar Ata bisa dengan mudah memahaminya.
"Ada nomernya Mbak Tasya juga. Kalau ada apa-apa dengan kondisi Tante Nia, lo bisa langsung hubungi Mbak Tasya," Rava menunjukkan kontak nomer Tasya yang sudah Rava masukkan. "Satu lagi, jangan matiin gambar fitur ini," tunjuknya ke arah bulatan yang bawahnya sedikit agak runcing, dan tengahnya berlubang. "Ini lokasi. Jadi kalau semisal ponsel lo hilang, nanti bisa dicari dengan melihat lokasi terkahir ponselnya," --dan bisa mantau posisi lo biar gue gak kehilangan jejak lo, Ta. Sambung Rava dalam hatinya.
Ata memandang takjub. Ponsel ini sangat berbeda dengan ponselnya dulu yang hanya bisa kirim SMS dan menelpon saja. Ponsel barunya bahkan memiliki stiker-stiker lucu yang tidak ada diponselnya dulu. Seolah melupakan kejadian salah paham dengan Tasya, Ata tersenyum sampai menyipitkan matanya hingga memunculkan lengkungan sabit yang mengakibatkan belahan dagunya terlihat.
"Terima kasih Rava," memandang cukup lama ke arah ponsel barunya, Ata merasa sadar jika ia tidak memiliki uang untuk membeli ponsel ini. Pengobatan Tantenya saja harus ditanggung orang lain, bagaimana bisa Ata membeli ponsel baru ini?
Ata mengembalikan ponsel itu ke Rava lagi, ia menunduk meremas dompetnya menyalurkan perasaan bersalah. "Maaf, aku nggak terima ponsel itu."
Rava mengerutkan dahinya bingung, "kenapa? Lo nggak suka ponselnya? Atau lo mau beli ponsel yang kayak gue?" Ponsel Rava memang lebih mahal, merknya ada apel yang digigit setengah. "Kalau mau, lo bisa pakai ponsel gue. Biar ponsel ini gue yang pakai." Rava merogoh saku seragamnya dan menyodorkan ponsel miliknya.
Ata menggeleng, "bukan itu." Ata tahu jika ponsel Rava lebih mahal dari ponsel barunya, tapi itu bukan soal harga. Ata yang memiliki ponsel jadul saja masih sangat bersyukur. "Aku nggak bisa bayar ponsel barunya."
Rava memicing, tidak suka dengan ucapan yang baru saja ia dengar. "Lo nggak usah bayar, Ta. Udah terima aja." Ata yang tadi menunduk kini mengangkat kembali kepalanya dan menatap Rava, "lo mau yang mana? Yg punya gue atau ponsel yang baru?" Tawarnya.
"Kamu nawarin ponsel ini bukan karena mau nyuruh aku nerima tawaran syarat dari mama kamu, kan?"
Rava berkedip beberapa kali. Ia sedikit lambat mencerna apa maksud dari perkataan Ata barusan. "Hah?" Seolah tersadarkan dengan kilasan perbincangannya dengan sang Papa, Rava mendengus keras. "Lo serius nanggepin syarat konyol dari nyokap gue?" Tatapnya tak percaya. Ah, ia lupa. Renata tetaplah Renata, meskipun pintar disekolah, Renata bodoh dalam membedakan candaan dan keseriusan.
Ata berpaling, ia tidak kuat jika harus lebih lama bertatap langsung dengan Rava lebih dari lima detik. Ada suatu keanehan yang Ata rasakan dan Ata masih tidak tahu apa jawabannya.
"Terima aja, lo nggak usah mikirin syarat yang nyokap gue katakan. Nyokap gue cuma bercanda, Ta." Rava menjelaskannya dengan sabar, walaupun ia sendiri sudah greget dengan sikap mamanya sendiri yang konyol mengajukan syarat bodoh.
Ata masih diam, enggan menanggapi ucapannya membuat Rava kesal sendiri. Rava berdiri, ia kembali menyodorkan ponsel yang baru ia beli dan menatap Ata yang masih berpaling. "Terima atau gue buang?" Ata menunduk, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. "Oke! Gue buang!" Kesal sudah Rava dibuatnya.
Rava melengkah melewati Ata menuju tempat sampah yang tidak jauh dari tempat duduk Ata, tapi langkahnya terhenti saat tangan mungil yang hangat memegang lengan tangan Rava.
"Jangan dibuang," cicitnya pelan tapi masih bisa Rava dengar. Sedikit. Karena Ata berucap masih dengan kepala menunduk.
Rava menatap malas. Gadis keras kepala, digertak baru ngerespon. "Apa? Gue nggak denger." Ucapnya ketus.
Ata melepas tangannya, meremas jemarinya sambil berkata, "jangan dibuang---"
"Ya udah lo terima," ujarnya cepat seraya menyodorkan ponsel baru ke arah Ata. Ata langsung mengangkat kepalanya, ingin berucap membalas Rava, tapi cowok itu dengan cepat memotong, "terima, Ta. Nurut kenapa sih? Tinggal terima aja, apa susahnya?" Omelnya tanpa sadar.
Ata terdiam, menghela napasnya berat karena lagi-lagi ia merepotkan orang lain. Mengambil ponsel itu seraya bergumam, "iya, makasih Rava."
"Hmm." Jawabnya malas, kenapa nggak dari tadi aja coba diterimanya? Kesalnya dalam hati. Rava memasukkan kedua telapak tangannya dan berujar tapi tatapannya lurus ke depan. "Lo nggak kerja?"
"Kerja, ini mau berangkat." Ata bangkit, ia baru sadar ada ponsel lain saat matanya menatap ke samping, mengambil ponsel Rava yang tergelatak dikursi yang sempat di duduki Rava. "Ini, ponselnya jangan dibuang. Nanti aku nggak bisa hubungin kamu,"
Kalimat sederhana, tapi mampu membuat Rava merasakan wajahnya memanas.
Ya gara-gara lo juga, susah bener nerima ponsel dari gue!
-tbc-
Terima kasih❣
KAMU SEDANG MEMBACA
Si cupu & Si Badboy (TAMAT)
Teen FictionPINDAH KE SINI! Hanya kisah seorang gadis remaja cupu yang tidak mempunyai tempatnya berteduh untuk berkeluh kesah tentang hidup yang tidak ia inginkan. Dan seorang remaja cowok bernama Ravaldo Kiandi yang hanya berpikir jika hidupnya hanya untuk sa...