Warning!!
Typo, EDYD dan kalimat rancu bertebran!
.
.
."Rava mana, Pa?" Rudi datang dengan mendorong kursi roda tante Nia membuat Ata bangkit menuju ranjang dan membenarkan letak bantal agar tantenya berbaring dengan nyaman.
"Dia mau beli sesuatu dulu katanya."
"Tante gimana? Udah enakan? Masih mual nggak?" Ata langsung menayakan kondisi tantenya dengan tidak sabar. Ketika Ata meinggalkan tentenya untuk sekolah dan bekerja, Ata merasa khawatir. Takut akan Om Hadi menemukan tante Nia. Padahal tentenya belum naik ke atas ranjang.
Tasya--kakaknya Tengku tak lama muncul, mengusap punggung Ata menenangkan. "Tenang, Ta. Tante kamu nggak apa-apa. Ini memang terjadi setelah kemoterapi. Bisa dikatakan ini efek sampingnya."
Tubuh Ata menegang. "Tante kemo? Kapan?"
Semua orang berpandangan, tak terkecuali tante Nia yang menatap orangtua Rava-- Rani dan Rudi.
Tasya mengehela napasnya, "tadi pagi, waktu kamu berangkat sekolah. Mbak udah jadwalin kemoterapi jauh-jauh hari, dan ya tante kamu memang sudah tau sebelum mbak kasih tau kondisinya."
"Mbak nggak bisa nentuin semuanya sendirian. Mbak itu dokter, harusnya mbak kasih tau aku dulu buat minta persetujuan." Napas Ata memburu. Ia merasa direndahkan setelah mendengar dua syarat yang tidak masuk akal yang dikeluarkan mamanya Rava. Memang, Ata bisa untuk fokus belajar disekolah, tapi menikah dan menjadi menantu dari keluarga Kiandi tidak terpikirkan sama sekali. Astaga! Ata masih sekolah, mana mungkin ia memikirkan pernikahan disituasinya yang seperti ini. Dan Mbak Tasya tanpa izin memberitahu jika tantenya tadi pagi sudah melakukan kemoterapi.
Ata mengambil tasnya, mencari dompet dan sebuah amplop putih--berisi uang yang dikumpulkan Denis dan Tengku tadi pagi, yang semoga saja bisa cukup untuk membayar kemoterapi tantenya walaupun Ata ragu soal itu.
Membalikkan badan menatap kakak kandung Tengku, Ata berkata. "Berapa mbak yang harus Ata bayar?"
"Ta, bukan itu maksud mbak-- Ata!" Ata keluar begitu saja menuju tempat administrasi. Semuanya hening, tak lama Tasya menarik napasnya agar lebih tenang. Semua kemarahan Ata akan Tasya tangani, dan semuanya memang sesuai dengan apa yang diperkirakannya. Renata kecewa dan merasa direndahkan. Tidak sedikit biaya kemoterapi yang akan dikeluarkan, apalagi kondisi Renata yang seperti sekarang tentunya berpikir ribuan kali untuk menjadwalkan kemoterapi untuk tantenya. "Biar saya yang urus Renata, permisi."
"Mbak katanya udah bilang sama Renata?" Nia bertanya setelah kepergian Tasya. Tatapan bertanya Nia ajukan kepada mamahnya Rava--Rani.
"Memang sudah." Jawabnya.
"Kapan?"
"Barusan?" Ujarnya seraya meringis. Rudi yang mendengar jawaban isterinya hanya menggelengkan kepalanya.
Tante Nia menarik napasnya panjang. Ia sebenarnya sungkan dengan lingkungan teman-temannya Renata yang semuanya memiliki hidup yang sangat berkecukupan. Nia sendiri bingung dan merasa kurang sopan jika hanya memanggil nama orang didepannya ini hanya dengan sebutan nama karena mamanya Rava lebih tua empat tahun darinya.
"Saya ngerepotin banget ya mbak? Maafin saya dan keponakan saya, seharusnya saya nunggu Renata pulang sekolah biar bisa diomongin lebih dulu."
Mama Rava menggeleng. "Enggak, Nia. Ini sama sekali bukan salah kamu ataupun Renata. Penyakit kamu harus segera ditangani secepatnya. Kamu nggak usah mikirin biaya, kita jamin Ata nggak akan ngeluarin satu rupiah pun untuk pengobatan kamu."
"Dengan syarat agar Renata jadi menantu kita?" Papa Rava menyela, membuat kedua perempuan itu menoleh secara bersamaan.
"Tentu saja bukan! Itu hanya akal-akalan agar Ata mau nerima bantuan kita. Gimana sih kamu, Pa?"
"Ma, bagi kita mungkin ini bantuan. Tapi bagaimana dengan Ata? Bisa saja dia merasa tertekan kan dengan sayarat yang mama ajuin. Atau bisa juga Ata jadi semakin berubah memandang orang yang lebih berkecukupan dari dia."
Mama Rava terdiam seakan tersadar. Ia menatap suaminya panik, "terus sekarang gimana pa? Mama udah ngomongin syarat itu sama Ata."
"Ata setuju?"
Mama Rava menggeleng, "belum, Ata belum jawab."
Menarik napasnya berat, papa Rava berujar, "nanti papa yang bicara sama Ata."
"Papa yakin papa bisa?" Tanya mama Rava memastikan, suaminya ini sedikit kaku untuk mengekspresikan yang dirasakannya, jadi ia sedikit ragu jika suaminya bisa meyakinkan orang lain.
"Kamu lupa jika suamimu ini seorang pengacara yang pintar dalam hal berbicara dipengadilan?"
Mama Rava memutar bola matanya mendengar suaminya berbangga diri. "Ya tapi itu kan beda, Pa. Itu memang tugas pengacara, lah ini anak gadis orang loh pa. Masak disamain sama ngadepin kerjaan?"
"Mama tenang aja, serahkan semuanya sama papa."
Mendengar perdebatan kecil sepasang suami isteri didepannya membuat Nia tersenyum. Keponakannya memiliki teman yang baik, dan orangtua Rava dan kakaknya Tengku begitu baik membantunya.
-000-
"Renata!" Teriakan Tasya membuat Ata berbalik dan menatap kakaknya Tengku masih dengan raut kecewa. Tinggal satu belokan koridor lagi, Ata sampai ke tempat administrasi. "Mbak mau bicara sama kamu." Ucapnya setelah bediri dihadapan Ata.
"Aku mau ngurusin biaya pengobatan tente Nia dulu," Ata akan berbalik, tapi tangannya ditarik oleh Tasya.
"Mbak minta maaf dan kamu nggak perlu khawatir akan biaya kemoterapi tante kamu, Ta." Ada nada kefrustrasian yang Ata tangkap dari Tasya. "Ikut mbak, kita bicara diruangan mbak."
"Ata mau bayar dulu mbak, nanti tante Nia dikeluarin dari rumah sakit ini." Ujarnya keras kepala.
Perkataan Ata membuat emosi Tasya tidak bisa ditahan lagi. "Astaga, Renata! Kamu pikir orang sakit main-main?! Kamu pikir kita sebagai dokter disumpah untuk apa? Apa kamu pikir menolong orang itu harus dilihat status sosialnya dulu? jabatan? ras? atau apa pun itu, dokter hanya disumpah tanpa memandang apapun!" Beberapa orang yang berlalu lalang dikoridor itu terpaku mendengar perkataan Tasya dengan nada tinggi. Bahkan perawat dan dokter yang sudah kenal Tasya merasa terkejut karena Tasya bisa seperti itu.
"Sekarang ikut ke ruangan mbak kalau kamu nggak mau jadi tontonan disini." Tasya berbalik menuju ruangannya.
Ata masih diam, merasa bersalah karena menilai ketulusan seorang dokter dengan rupiah. Air matanya mengalir, sesak tiba-tiba menghimpit dadanya. Ia hanya merasa kaget karena tantenya sudah ikut pengobatan.
Ata tentu saja bahagia jika tantenya sudah mengikuti kemoterapi lebih awal. Yang menjadi pemikirannya sekarang, Ata takut tidak bisa membalas segala kebaikan orang-orang yang membantunya. Ata takut tidak tau diri yang akan nanti melupakan kebaikan orang-orang terdekatnya jika suatu saat nanti diantara mereka melalukan kesalahan.
Ata memang pemaaf, tapi ia akan sulit melupakan segala kesalahan yang dikiranya menyakitinya. Bukankah, seribu kebaikan akan tertutup dengan satu kesalahan? Dan bukankah memaafkan adalah hal yang mudah tapi tidak dengan melupakan kesalahannya?
Mengusap air matanya, Ata bergegas menyusul Tasya keruangannya.
-tbc-
Terima kasih❣
Tandai ya kalau masih menemukan typo, kali aja ada yg kelewat😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Si cupu & Si Badboy (TAMAT)
Teen FictionPINDAH KE SINI! Hanya kisah seorang gadis remaja cupu yang tidak mempunyai tempatnya berteduh untuk berkeluh kesah tentang hidup yang tidak ia inginkan. Dan seorang remaja cowok bernama Ravaldo Kiandi yang hanya berpikir jika hidupnya hanya untuk sa...