Pagi ini, mentari kembali bersinar menyapa bumi. Cahaya nya begitu terang hingga menyilaukan mata. Jalanan yang ramai karena bertepatan dengan akhir minggu.
Di kediaman keluarga Raveena, tampak sebuah keluarga kecil yang terlihat sedang berpakaian sangat rapi seakan ingin pergi mengunjungi suatu tempat. Namun, langkah mereka terhenti ketika mendapati sebuah mobil sedan bewarna hitam terparkir sempurna di perkarangan rumah.
"Ah, Fahri?" Suara bariton dari seorang ayah dari tiga orang anak itu tampak terkejut dengan kehadiran putra dari sahabat nya. Menyambut kehadiran Fahri dan memberikannya pelukan hangat.
"Maaf saya datang tiba-tiba seperti ini, om." Papa Arisha tersenyum sambil menepuk pelan bahu tegap Fahri.
"Tidak masalah. Kenapa kamu baru datang sekarang? Orang tua mu tidak ikut?"
Fahri tidak langsung menjawab pertanyaan dari ayah kekasihnya itu. Ia melirik kearah Arisha dan kembali menatap pria paruh baya yang kini berdiri di hadapannya.
"Mereka minta maaf karena tidak bisa berkunjung, om. Ada pekerjaan yang tidak mungkin mereka tinggalkan." Keluarga Raveena tampak mengangguk mengerti.
Fahri tampak menatap satu persatu anggota keluarga Raveena. Ia bingung karena mereka terlihat sudah rapi dengan pakaian seragam bewarna putih.
"Apa kalian ingin mengunjungi suatu tempat?" Keluarga Raveena saling menatap satu sama lain setelah mendengar pertanyaan Fahri.
Fahri tampak bingung karena mereka tak kunjung memberikan jawaban. Dengan cepat Adit merangkul bahu Fahri dan tersenyum.
"Kami ingin mengunjungi nya. Kau juga ikut bersama kami, oke?" Tanpa berpikir panjang, Fahri segera mengangguk. Meski tidak dibilang secara detail, ia tahu kemana tempat yang akan mereka kunjungi.
"Ya sudah. Ayo kita berangkat."
. . .
Angin pagi berhembus dengan lembut. Suara desiran daun yang berjatuhan terdengar dengan sangat jelas. Cahaya matahari pun mulai meredup karena tertutupi oleh pohon rindang yang menjulang tinggi.
Seorang gadis dengan surai hitam di atas bahu itu mengedarkan pandangan nya. Melihat tempat yang sudah ia datangi sehari yang lalu. Gadis itu tersenyum tipis. Kembali melangkah beriringan dengan keluarga nya yang lain.
Mereka menatap sebuah makam yang terlihat begitu bersih. Di sana juga terdapat sebuah buket bunga. Senyum mereka tak kunjung luntur, justru perasaan semakin tenang setelah melihat sebuah makam dari salah satu anggota keluarga yang begitu mereka sayangi dan rindukan.
"Adira... Kami datang, nak." Suara seorang wanita paruh baya itu terdengar begitu lembut. Ia tampak mengusap lembut batu nisan yang bertuliskan nama putrinya di sana.
"Apa kamu lihat... Kami datang menemui mu. Keluarga yang sangat kamu sayangi." Suara ibu dari tiga orang anak itu berubah menjadi lirih. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan air mata yang telah berdesakan untuk jatuh.
Anggota keluarga Raveena yang lain pun tampak berjongkok di samping makam Adira. Mereka mencoba untuk tegar, tak ingin menangis.
Arisha mengusap lembut punggung sang ibu. Ia tahu bahwa saat ini ibunya tengah menahan tangis. Sebelum datang untuk mengunjungi makam Adira, mereka sudah berjanji untuk tidak menangis.
"Non Adira... Maaf karena waktu itu bibi berniat untuk pergi dari kediaman keluarga Raveena. Saat itu bibi merasa sangat terpuruk. Rasanya begitu sesak untuk menerima kenyataan bahwa Non Adira telah pergi. Tapi sekarang..." Seorang wanita yang berumur setengah abad itu tampak menjeda ucapan nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Yang Pergi[Sequel End]✔
Ficção AdolescenteBagaimana rasanya jika kau hidup dengan penuh rasa penyesalan? Seandainya ku tahu akan berakhir seperti ini, mungkin aku tidak akan pernah menyia-nyiakan nya. Tolong maafkan aku.