Pain

3.4K 201 35
                                    

Terkadang, penyesalan meninggalkan bekas yang amat menyakitkan.
.
.
.

Waktu terus berlalu tanpa mengenal lelah. Meskipun begitu, manusia harus senantiasa menjalani hidup tanpa pasrah.

Pagi ini hawa memang terasa sangat sejuk. Angin dingin yang berhembus lembut, seakan menusuk diri hingga ke tulang. Mata yang harus terbuka paksa setelah secercah cahaya berhasil masuk menyelinap.

Gadis itu tampak mengerjapkan matanya. Duduk di atas ranjang yang empuk, mengumpulkan kembali semua nyawa ketempat semula. Ia yang terlihat melirik jam hingga berdecak kesal menyadari hari untuk menyuruhnya kembali melakukan aktivitas. Dengan langkah gontai, ia masuk kedalam toilet untuk membersihkan diri yang kusut. Membiarkan tubuhnya diguyur oleh air dingin hingga ia menggigil.

Gadis itu tampak menatap sendu dirinya sendiri dari pantulan kaca. Mata yang terlibat sembab, bukan karena ia terlambat tidur melainkan dirinya yang diselimuti oleh kesedihan tiada akhir. Merutuki diri sendiri atas semua yang terjadi. Sudah hampir 1 bulan berlalu sejak kepergian saudara kembarnya yang bahkan belum bisa mereka lupakan. Semenjak satu bulan itu lah banyak kejadian tidak terduga yang menimpa dirinya bahkan keluarga. Ingin dia melupakan. Namun semakin ingin hati merelakan, semakin terbuka lebar luka yang telah menganga.

.
.

"Kak? Dimana papa dan mama?" Seorang anak laki-laki yang sedang fokus dengan sarapan pagi, seketika menoleh saat mendengar suara adiknya yang terdengar dingin, datar, seakan tidak berirama. Memilih diam tidak menjawab pertanyaan adiknya yang terlihat begitu penasaran.

"Tuan dan nyonya ada diruang keluarga, Non."

Arisha terdiam mendengar ucapan bi Izah. Pantas saja ia tidak mendapati kedua orang tuanya di ruang makan. Karena ternyata kini mereka berada di ruangan lain. Gadis itu tampak mengepal kedua tangannya, ia sadar bahwa ini bukan pertama kalinya terjadi.

"Non... Tidak sarapan?" Tanya bi Izah ketika melihat Arisha yang terdiam. Gadis itu hanya menggeleng pelan karena tiba-tiba selera makannya hilang begitu saja. Ia hanya menatap ruang makan yang hening, tidak ada lagi kehangatan keluarga. Tidak ada lagi tawa dan senyuman. Bahkan orang tuanya pun... Seakan kehilangan tujuan.

***

"Ah... Maaf, apa kami terlihat kekanakan?"

Suara seorang pria berumur 45 tahun itu terdengar sangat parau. Wajahnya terlihat lebih kusut sejak beberapa bulan terakhir. Ia berdiri didepan sebuah foto yang sangat besar terpampang dihadapannya. Menampilkan senyum kecil yang begitu miris jika dilihat.

"Sepertinya begitu... Tingkah kita sangat jauh berbeda dengan umur kita sekarang, pa." Suara serak karena mencoba untuk menahan tangis itu berasal dari seorang wanita yang terlihat sangat tertekan. Mencoba untuk tertawa walau terdengar sangat miris. Wajahnya yang tidak lagi berseri, bahkan terlihat lebih tirus.

"Maaf, nak. Kami hanya... Merindukan mu."

Setitik air mata jatuh bersamaan setelah mengucapkan kalimat itu. Deretan kata yang terasa sangat mengiris hati bagi siapapun yang mendengar nya. Mereka yang hanya menunduk lesu seakan kehilangan semangat hidup.

"Mau sampai kapan kalian seperti ini?!"

Suara teriakan itu mampu menyadarkan lamunan sepasang suami istri itu. Menoleh kearah seorang gadis perempuan yang juga terlihat sama kacaunya dengan mereka. Dia berteriak, namun terdengar lirih dan menggoreskan hati mereka.

Biarkan Aku Yang Pergi[Sequel End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang