XIV

259 91 26
                                    

Selamat membaca 😊

***

Tepat pukul 01.36 pagi Dea sampai di rumahnya.

Setelah memastikan motornya terparkir dengan benar, ia melangkah memasuki pintu bercat putih itu. Keadaan rumahnya sangat sepi, karena seluruh penghuninya sudah terlelap.

Dea menghela nafas lelah. Hal seperti ini sering Dea rasakan, ia sangat jarang berkumpul saat malam bersama papa, mama dan abangnya. Bahkan sejak empat bulan yang lalu, setelah kepulangannya bisa dihitung berapa kali ia duduk bersama dengan keluarganya untuk makan malam.

Dengan langkah lunglai, Dea menuju tangga untuk sampai ke kamarnya. Namun, suara mamanya terdengar memanggil dari ruang makan. Ia berbalik dan menuju ke arah mamanya.

“Kau terlihat sangat lelah, sayang,” ucap Areta sambil mengelus pipinya dengan sayang.

“Apa misinya sudah selesai? Apa kamu tadi sudah makan malam?”

Mamanya bertanya seraya merangkul Dea untuk duduk di kursi di samping meja makan. Areta memang mengetahui tentang misi-misi yang dilakukan Dea. Papanya juga Vero sudah mengetahui apa yang selama ini Dea lakukan.

Mereka awalnya sangat syok, tidak percaya bahwa perubahan yang terjadi pada Dea sangat besar. Tidak dapat diungkapkan bagaimana yang dirasakan keluarga Dea. Namun mereka tidak dapat melarang Dea untuk berhenti. Mereka takut Dea kembali pergi, kerena itu mereka berusaha memahami Dea. Mereka sudah berjanji untuk menerima semua perubahan dari hidup Dea.

Dengan melihat Dea pulang dalam keadaan yang baik-baik saja tanpa terluka, itu sudah membuat mereka cukup tenang. Mereka percaya bahwa Dea dapat menjaga dirinya dengan baik.

“Sudah. Aku belum sempat makan, Mama,”

Dea menjawab pertanyaan mamanya dengan pelan. Ia sudah sangat lelah dan mengantuk, tapi saat mamanya menanyakan apa ia sudah makan atau belum saat itu juga ia merasakan perutnya melilit karena belum terisi apapun sejak siang. Ia terlalu sibuk berburu manusia pengganggu itu, hingga membuatnya lupa untuk mengisi perut.

Segera Areta mengambilkan makanan yang sudah disiapkan untuk putrinya itu, setelah sebelumnya ia memanaskannya.

“Ini, makanlah sayang ..”

Areta meletakkan makanan yang sudah dipanaskannya di depan Dea. Kemudian ia ikut duduk di samping Dea.

“Terima kasih, Mama,” ujar Dea tulus dengan senyum kecil di bibirnya.

Setelah itu ia menyuapkan masakan mamanya dengan lahap, pertanda ia benar-benar lapar. Areta membalasnya dengan senyum bahagia melihat putrinya itu.

“Lain kali, jangan makan terlambat sayang. Mama nggak mau kamu sakit,” nasehat Areta untuk Dea.
Sedangkan Dea hanya menjawabnya dengan anggukan kecil, lalu kembali menyuap nasinya. Ia sungguh terlihat kelaparan.

Suara kekehan terdengar dari Areta, wanita itu selalu gemas dengan tingkah putrinya jika kelaparan. Mengingatkannya pada saat Dea waktu kelas dua sekolah dasar. Merengek hampir menangis karena lapar, Dea terlalu sibuk bermain kala itu. Bahkan tingkah lucunya itu masih terbawa sampai dia sudah SMA, dan sekarang meskipun Dea banyak berubah, tapi kebiasaan saat ia sangat lapar tidak ikut berubah. Areta bersyukur karenanya.

***

Sinar mentari merambat masuk, melalui celah tirai kelabu yang menggantung. Dea merasakan silau cahaya mengusik tidurnya. Dengan gerakan perlahan, mata biru laut itu menampakkan keindahannya. Bola mata Dea bergulir melihat cahaya yang telah terik. Ia menoleh ke nakas disamping tempat tidur dan terlihat jarum jam menunjukan angka 09.13 pagi.

Dea bangkit dan menuju kamar mandi. Badannya terasa lengket karena keringat tadi malam. Ya, ia kembali menjalankan misi dari Zhorak dan pulang saat pagi menjelang.

Tetesan air yang mengalir, ikut membawa letih yang bersarang di tubuhnya. Ketenangan datang saat meresapi titik-titik air yang berjatuhan di atas kepala.

Setelah beberapa menit, Dea keluar dengan t-shirt putih dan legging hitam. Rambutnya yang basah hanya dikeringkan dengan handuk dan menyisirnya sebentar. Ia terlalu malas memegang benda bernama hair drayer, itu hanya akan memperlambatnya untuk segera menikmati sarapan pagi yang tertunda karena terbuai mimpi.

Dea menuruni anak tangga menuju ruang makan. Di sana ia melihat mamanya sedang mengambil buah dari dalam kulkas.

“Pagi sweety, kamu mau sarapan apa? Biar Mama buatkan,” tanya Areta saat melihat kedatangan Dea.

“Pagi, Ma. Sarapan apa aja, aku sudah sangat lapar, Mama,” terdengar Dea menjawab dengan sedikit manja.

“Ok. Princess nya Mama duduk dulu, biar Mama siapkan sarapan untuk kamu.”

“Makasih, Mama. Cup.”

Dea mengecup pipi mamanya sekilas. Areta tersenyum menerima kecupan pagi dari putri satu-satunya itu.
Areta senang dengan sedikit perubahan Dea.

Memang sejak sebulan yang lalu, Dea sedikit terbuka dengan keluarganya. Ia terkadang terdengar manja saat berbicara dengan mama dan papanya. Bahkan ia juga mulai menjaili Vero dengan tingkah usilnya.

Setelah menyelesaikan sarapan, Dea kembali ke kamarnya. Hari ini, ia menyibukkan diri dengan memeriksa e-mail yang berisi laporan tentang hotel, café dan beberapa tempat yang di bangun dengan hasil jerih payahnya sendiri.

Selama ini, tidak banyak yang mengetahui jika ia pemilik café yang sudah memiliki banyak cabang bahkan sampai di beberapa negara.

D’VA, itu namanya. Hanya anggota inti Zhorak dan keluarganya yang mengetahui aset yang dimilikinya. Dan lagi-lagi keluarga Dea merasa terkejut dengan itu, namun mereka sangat bangga atas pencapaian Dea.

Café, hotel dan yang lainnya, diurus oleh Karina Fercilia. Karin, salah satu anggota Zhorak dulunya. Tapi, karena ia merasa bosan dengan misi-misi yang pernah dijalani, ia meminta untuk menjadi asisten pribadi Dea.

Dan ia lah yang selama ini menghandle seluruh tambang uang Dea. Ia juga sudah dianggap kakak angkat oleh Dea.

***

Beberapa detik yang lalu, Daniel menghubunginya. Ada sedikit gangguan di markas. Seorang pengusaha terkenal di Prancis meminta Zhorak untuk meretas dan mengambil kembali data-data penting perusahaan yang dicuri oleh lawan saingnya.

Jika Daniel yang memintanya, itu berarti hacker yang jadi lawannya kali ini memiliki kemampuan diatas Daniel. Karena itu, ia harus segera sampai di markas Zhorak yang ada di Jakarta.

Saat Dea akan melewati ruang keluarga, sesuatu menahannya. Seketika kepalanya terasa berputar, jantungnya berdegup kencang.

Dea menyender di dinding pembatas untuk menopang badannya. Perlahan ia menarik nafas yang tercekat, setelah merasa stabil Dea beranjak menuju markas. Ia berjanji  akan mencari tahunya nanti, tentang apa yang terjadi.

***


Kira-kira Dea kenapa yah..?
Mungkinkah Dea sakit?
Hm, mungkin saja.

Tetap ikuti Dea sampai ending yah guys...

Eitss

Jangan lupa vote n komennya.
Thank you😊

THE MAFIA GET MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang