•••
Cuaca sedang tidak mendukung hari ini, keadaan diluar rumah amat sangat mendung. Suram sekali melihat nya. Ini seperti pukul 5 pagi saat matahari baru muncul-muncul nya.
Aku masih sibuk mencari payung lipat yang ada digarasi rumahku. Seingatku, aku menggantungnya di sekitar dinding dekat pintu masuk garasi. Aku mulai menggeledah perkakas mobil di garasi ini. Aku memng tidak yakin payungku ada, tapi siapa tahu adik iblisku itu iseng, kan?
Bisa juga kakakku lupa meletakan payungku pada tempatnya. Aku punya seorang kakak laki-laki, aku sering memangginya kak Teya. Dia memang jarang dirumah karena dia kuliah jauh diluar kota. Walaupun setiap sabtu sore dia sudah berada dirumah.
"Lani? Belum berangkat juga?" Mamaku berseru dibibir pintu garasi.
"Maa, payung ku kok gak ada ya?" Aku sudah pasrah. Aku melangkah mendekat kearah mamaku. Mamaku terdiam sebentar lalu seperti ada sesuatu yang membuat nya berjengit.
"Ah iya, Mama lupa meletakan nya di situ. Tunggu Mama ambil. Kamu cepat ambil tas mu dulu dan siap-siap." Aku menghela nafas saat Mama sudah beranjak pergi mengambil payungku.
Tas ku sudah berada dimeja sejak tadi, jadi aku tidak perlu kekamarku untuk mengambil nya. Mama masih belum juga muncul setelah aku duduk dibangku teras. Melihat langit yang masih suram.
"Kalau sekarang kaya nya gak bakal hujan deh." Gumamku.
Mataku terbelalak karena seketika air berjatuhan dengan manis walau tidak deras. Aku tidak berbakat untuk menilai cuaca. Padahal ku kira hujan akan datang saat aku sampai disekolah. Kalau ginu, naas sepatuku bisa saja basah.
Mama muncul dipintu dan mengulurkan payungku.
"Hati-hati, Lani. Memang hujan nya gak deres tapi bawa penyakit, lho." Aku ingin bertanya pada Mama tentang hujan pembawa penyakit itu tapi melihat jam terbangku mulai menipis aku mengulum pertanyaan itu dalam-dalam.
"Kalau gitu, Lani berangkat dulu, Ma. daah~"
Aku membuka payungku dan berjalan dengan cepat. Aku harap hujan jangan dulu jatuh dengan deras. Soalnya, genangan air disepanjang jalan akan membuat sepatuku basah. Uh, itu rasanya tidak menyenangkan sama sekali. Aku suka hujan karena hujan itu sejuk, tapi aku tidak suka basah saat aku ingin kering. Itu seperti saat aku sedang makan ice cream rasa coklat tiba-tiba temanku menyuapiku dengan makanan pedas. Tidak menyenangkan sama sekali.
Langkahku semakin cepat, berbelok dan melewati trotoar. Didepan sana, aku melihat 2 orang yang menunggu rambu pejalan kaki berwarna hijau. Salah satu orang itu menggunakan payung dan satunya tidak. Seorang yang menggunakan payung itu anak perempuan seragamnya itu seragam anak SMP dan yang satunya lagi seorang lelaki yang seragam sekolahnya sama denganku.
Aku tanpa basa-basi mendekat kearahnya, hujan juga perlahan semakin deras.
"Hey, kamu meremehkan hujan ya?" Sapaku, dia terlihat terkejut saat aku memayunginya. Sejujurnya sangat sulit memayungi orang ini. Dia jauh lebih tinggi dari pada aku. Tinggiku tepat sedadanya, ah aku iri dengan orang tinggi.
"Meremehkan?"
Aku kesulitan menjaga keseimbangan payungku. Ingat, dia itu tinggi sekali, apalagi ada angin yang berhembus. Aku terpaksa menggenggam payungku dengan kedua tanganku.
"Hujan gini bawa penyakit. Kita satu sekolah kan? Aku akan memberimu tumpangan payungku. Ughhh--"
Angin kembali berhembus, rasanya aku tidak bisa menahan yang satu ini. Angin brengsek. Memegang payung seperti ini saja sudah membuatku pegal, tolong jangan ditambah dengan angin. Aku tidak tahu dengan reaksi orang ini tapi ekor mataku menangkap pemandangan dia sedang menahan tawanya melihatku.
Ah, sial.
Tangan nya yang panjang itu terulur dan menggenggam gangang payungku tepat aku menggenggam payungku.
"Baiklah, kalau gitu biar aku yang memegang payungnya." Dia tersenyum setelah mengatakan hal itu. Mataku melebar, aku segera mungkin menarik tanganku.
Tunggu, tunggu sebentar.
"Ahhh, rambunya hijau. Ayo jalan." Aku memalingkan wajahku ke depan.
Tanganku kusatukan didepan dadaku. Aku juga menyelaraskan langkah ku dengan lelaki ini. Aku tidak tahu aku ini kenapa tapi rasanya jantungku sempat tidak beres sesaat dia tersenyum. Aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku langsung memalingkan wajahku seperti ini.
Hening.
Padahal kami jalan bersebelahan, tapi aku sangat canggung untuk mengajaknya berbicara. Ah, kemana diriku yang selalu cerewet saat bertemu orang-orang. Rasanya orang ini sulit sekali untuk ku ajak bicara. 328 langkah dari zebracross serasa berkilo-kilo meter saat ini.
Ayolah, aku ingin segera sampai disekolah. Waktu cepatlah berlalu. Aku--
"Kamu terlihat tidak nyaman, apa sisi sana terkena hujan?"
Aku berjengit saat suara lelaki ini menginterupsi. Aku mendongak, sekali lagi aku benci orang tinggi. Sialan bikin iri saja. Aku kembali menatap kearah depan, kira-kira 150 langkah lagi sampai di gerbang sekolah.
"Gak kok, gak kena. Kenapa kamu berfikir aku tidak nyaman?"
Tanyaku tanpa memandangnya, bukan nya angkuh. Tapi selalu mendongak saat berjalan beriringan gini, hanya membuat leherku sakit. Salahkan dia yang terlalu tinggi.
Aku merasa dia enggan menjawab pertanyaanku, sejak aku bertanya dia tidak memberi balasan. Ah, suasana yang tidak menyenangkan sama sekali.
"Hanya menebak saja."
Eh, bukan nya sudah basi? Lama sekali jawabnya.
"Begitu. Tapi, hey. Bukan nya hari ini memang cuaca tidak bagus. Kenapa kamu meremehkan hujan pagi hari?" Tanyaku ke topik awal.
Benarkan? Sejak awal aku sudah bertanya hal ini padanya tapi dia belum juga menjawab.
"Aku kira tidak akan turun secepat ini," katanya dengan suara datar. "Ternyata aku tidak pandai menilai cuaca."
Eh?
"Wah, aku juga awalnya mengira tidak akan turun. Apa ini? Ternyata kita berfikir hal yang sama." Aku tertawa.
Aku tahu ini bukan lelucon atau hal yang humor yang mebuat seseorang harus tertawa. Tapi aku merasa lucu saat tidak sengaja sepemikiran bahkan kata-katanya sama dengan pikiranku tadi. Entah karena aku yang merasa ini lucu atau memang karena dia juga tidak habis pikir, dia juga tergelitik dengan kata-kataku.
"Kebetulan yang menyenangkan." Katanya.
"Benar." Aku masih terkekeh geli. Hitungan langkahku pada awal tadi sudah menghilang, tau-tau kami sudah sampai digerbang sekolah. Aku maupun lelaki ini segera mencari tempat teduh.
Dia menutup payungku dan mengibas-ngibaskan nya, mengusir butiran air yang menempel pada payungku. Aku sedikit menjaga jarak agar bisa menatapnya tanpa perlu mendongak. Rambutnya sedikit basah. Itu pasti karena dia terkena hujan sebelum aku mendatanginya.
"Terimakasih atas tumpangan nya." Dia mengulurkan payungku. Aku menyambutnya sembari tersenyum.
"Sebelum kekelas, sebaiknya kamu membasuh kepalamu dengan air dulu di toilet." Aku diam untuk sesaat, diapun juga terdiam setelah mendengar kata-kataku.
"Uh, aku tidak tau teorinya tapi Papa saat kehujanan langsung mandi dan membasuh kepalanya. Mungkin pengusir penyakit?" Aku sedikit mengusap belakang kepalaku, kebiasaanku saat merasa tidak nyaman.
"Apapun itu, cobalah. Dah~" Aku tersenyum dan berjalan pergi, menuju kelasku. Menilik dari ekspresinya yang terkejut itu, kurasa kata-kataku sangat aneh. Mungkin dia tertawa dalam hati karena ucapan bodohku.
Aaaah, aku malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zebracross
Teen Fiction06.45 AM. di jalan dan waktu yang sama. di 30 detik yang sama. setiap hari. ••••••••••••• Jika kamu membaca ini, kamu harus melihat sampai ending. Karena pengenalan tokohnya ada di ending. Hehehe, semoga kalian suka❤️