001 : Rough

388 35 51
                                    

"Jika saja aku mau, maka aku akan berharap lebih baik mati atau tak terlahir di dunia ini sekalipun."

Suara jeritan seorang wanita terdengar lantang dari lantai bawah bangunan bertingkat itu. Bersamaan dengan suara berat yang terdengar mengancam serta penuh penekanan. Barang-barang berbahan keramik terdengar jatuh membentur lantai marmer. Menciptakan suasana sore yang genting dan menegangkan.

Semua hal itu, membuat seorang laki-laki yang akan genap berusia tujuh belas tahun tersebut, sudah terlihat tidak nyaman lebih lama lagi berada di dalam kamarnya sendiri. Mendengarkan kedua orangtuanya bertengkar di bawah sana. Telah menjadi asupan rutin hampir setiap hari.

Aslan Pandega, ia sudah muak harus kembali berteman dengan rasa yang teramat bosan, marah, kesal, benci dan frustrasi. Berharap semuanya bisa berhenti, mungkin terlalu sulit.

Pertanyaan demi pertanyaan seakan muncul terus menerus. Menyangkut tema yang sama.

Kenapa keluarganya begitu tak harmonis selayaknya keluarga lain?

Hal-hal sepele dan remeh, terkadang menjadi masalah yang besar dan terkesan rumit bagi kedua orang di bawah sana-kedua orangtuanya.

Keringat dan air mata bergantian keluar dari tubuh Aslan. Ia benci jika keadaanya sudah seperti ini.

Kenapa juga ia harus terlahir atau dilahirkan di keluarga sehancur ini? Apa ini semacam cobaan kecil dalam hidupnya yang baru saja ada pada fase awal?

Ruang kamar setengah gelap itu telah sukses membuat opsi-opsi buruknya meremang. Perdebatan dua orang dewasa di bawah sana, adalah hal paling buruk bagi kesetabilan mentalnya. Aslan bisa saja gila.

Beberapa kali Aslan meremas dan merobek lembar demi lembar buku pelajarannya. Niat awalnya di sore yang indah ini, ia akan mencoba menghabiskan waktu dengan menekuni tumpukkan buku pelajaran yang setebal batako tersebut. Namun, nyatanya fokus yang sedari tadi ia coba bangun, harus hilang dan buyar. Sia-sia.

Aslan tidak tahan lagi tinggal lebih lama lagi di rumah ini. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menarik pegangan laci mejanya. Sebungkus rokok dan pemantiknya diambilnya, lalu dimasukan ke dalam tas yang sudah berisi dua lembar kaus polos miliknya. Aslan segera bangkit dari kursi belajarnya yang terasa seperti mendudukki duri-duri tajam. Memakai jaket tebal beserta topi hitam polos. Menyambar kunci motor yang tergeletak begitu saja di atas kasur. Rencananya, ia akan minggat dari tempat ini seperti biasanya.

Tungkai kakinya diseret keluar dari ruang kamarnya yang semakin terasa seperti berada di dalam sebuah sel jeruji besi.

Aslan menarik knop pintu kamarnya dengan sedikit helaan napas. Suara perdebatan di bawah sana semakin terdengar jelas memasuki indera pendengarnya. Akan tetapi Aslan mencoba untuk tidak peduli. Ia segera menuruni tangga dengan tempo cepat.

Perdebatan kedua orangtuanya sontak terhenti saat kedatangannya di lantai dasar tersebut.

Aslan bisa melihat dengan sudut matanya. Pecahan piring dan miniatur berbahan gelas itu berceceran di lantai. Kepingan-kepingan kaca terlihat mengkilap dan menggodanya. Jika saja ia mengambilnya dan menggoreskannya ke salah satu urat di tangannya. Di tambah dengan sedikit tekanan. Apakah semua ini akan berkahir? Ia yakin, jika kata baik-baik saja dan tidak akan baik akan menjadi dua pilihan finalnya.

[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This)  [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang