Dua hari berlalu setelah kejadian di bar malam itu. Namun, Aslan masih masih memikirkan sesuatu yang begitu mengganjal di otakknya. Sesuatu yang membuatnya sebentar-sebentar terjaga dari lelapnya. Mengusik tidurnya di mana pun ia berada. Entah itu ketika membopong tubuh Uka yang setengah mabuk memasuki apartemennya. Hingga subuh tadi, Aslan mendapat dua tamparan keras di pipi kanannya. Hadiah pertama semenjak ia mengenal Ayahnya yang berubah menjadi sosok lain selama beberapa tahun ini. Perubahan itu, entah apa penyebabnya. Yang pasti Aslan harap ia menemukannya.
Dan tentang hukuman berupa dua buah tamparan keras yang di dapatnya dari telapak tangan kokoh Raditya—Ayahnya. Pagi itu ia pulang setelah hilang dari rumah dan bolos sekolah selama sehari penuh. Pintu rumahnya masih terbuka saat Aslan berniat masuk. Meskipun keinginannya bukanlah itu. Tapi Gery terus menerus menghubunginya. Katanya Maya—Ibu Aslan selalu menanyakan di mana ia keberadaanya. Mengubunginya hampir setiap jam.
Ditambah Uka menyuruhnya pulang. Dia berubah menjadi sosok yang sok alim setelah sembuh dari pengaruh alkohol yang diminumnya.
Namun, ketika Aslan terpaksa menginjakkan kaki di lantai rumah. Ayahnya datang dengan wajah datar namun penuh amarah di dalamnya. Satu pertanyaan pasaran yang begitu muak Aslan dengar.
"Dari mana kamu?"
Aslan menjawabnya dengan dengusan dan berniat pergi. Menghiraukan keberadaan Raditya. Sebelum amarahnya kembali datang.
Belum langkah yang diambil Aslan mampu melewati hadangan dari Ayahnya. Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Bahkan Aslan sampai terhuyung.
"Kamu mau jadi apa nanti!? Berandalan! Pengecut! Atau anak kurang ajar! Jawab!"
Suara Ayahnya menggelegar mengisi setiap sudut rumah. Bahkan pembantu rumah yang tadi terlihat membawa kemonceng dan kain lap, segera balik badan dan pergi.
Aslan tersenyum miris. Teringat kata-kata Rania di bar malam itu. Timbul rasa lebih muak saat Ayahnya menatapnya dengan tajam.
"Kalo Aslan mau jadi pengecut! kalo Aslan bisa jadi anak kurang ajar! Kenapa enggak? Kenapa juga Aslan harus mau disuruh-suruh orang yang ternyata gak jauh beda dari ketiga julukan tadi?"
"Ngomong apa kamu barusan?" Nada tajam Ayahnya seakan menusuk isi rongga telinga Aslan.
"Kenapa? Emang itu faktanya? Ayah gak jauh beda ternyata. Apa enaknya denger kalian berdua ribut setiap hari di rumah? Kenapa gak sekalian pisah aja? Enggak capek-"
Plak!
Aslan tersadar dari lamunanya. Sepatu sekolahnya terbentur tepat diundakan rendah gerbang sekolah.
Sekolah Bantara Sakti. Sekolah dengan label elit. Namun ternilai buruk ketika masuk dan beredar di media. Kabar-kabur. Desas-desus serta berita menjadi tema yang sama. Kasus anak sekolah, penggelapan dana serta peristiwa-peristiwa buruk masih menempel lengket, menjadi label permanen bagi sekolah Bantara Sakti.
Aslan meraba pipinya yang masih terasa nyeri bekas tamparan subuh tadi. Tamparan kedua jauh lebih menyakitkan saat Ibunya datang dari kamarnya dan melindunginya dari tamparan ketiga. Meneriaki kata 'cukup' dengan derai air mata yang membuat kedua mata indahnya semakin membengkak.
"Lan, lo gak papa?" Aslan mengerjap pelan. Ditatapnya laki-laki berkaca mata bulat di depannya sekarang. Erik Sytasna. Ketua kelasnya sekaligis wakil ketua osis Bantara Sakti.
"Pipi lo abis ditabok siapa? Ayah lo, ya?"
Aslan sontak mendengus dan bersikap tak acuh. Ia melangkah pergi tanpa menghiraukan Erik yang sepertinya begitu penasaran dengan apa yang terjadi. Hanya saja, Aslan harus ingat dan berhati-hati dengan laki-laki bermuka dua itu. Dia adalah salah satu pentolan siswa bermulut ember. Satu berita yang didapatnya dalam setengah jam kemudian akan diketahui seluruh warga sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This) [END] ✔
Dla nastolatków[ DARKTEENLIT (15+) ] 4th - #MOONWAVE_PROJECT ~Mereka hanya pembohong manis dalam topeng rupa-rupa emosi~ Dunia Aslan sudah tak seperti dulu lagi. Setelah ia tahu apa artinya omong kosong dan kenyataan palsu bahwa kedua orang tua, teman-temannya ter...