007 : If I Want..

59 11 7
                                    

Pintu kamar Ibu dikunci dari dalam. Aslan sudah tebak ada sesuatu yang tidak ia ketahui antara Ibunya dan gadis bermata bulat itu. Mungkin juga menggaet Ayahnya dalam zona yang sama.

Aslan mencengkeram rambut kepalanya dengan frustrasi. Betapa rumitnya semua itu. Baru saja kedua sahabatnya mengkhianatinya. Tentang Rania yang ia belum menemukan titik temunya. Perubahan Ayahnya yang semakin lama semakin tak terkendali. Baru saja dia datang dengan keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja. Lalu pergi entah ke mana sampai sekarang.

Pukul 19.59.

Aslan duduk sendirian di sofa ruang keluarganya. Ditemani segelas atmosfer sunyi. Sepi dan hening.

Ingatan tentang ruang keluarga yang ceria dengan tontonan menyenangkan. Diselingi tawa dan canda. Senampan makanan ringan beserta minuman manis kental. Aslan hanya bisa membayangkannya. Setidaknya jauh dulu sekali ia pernah merasakannya.

Sudah hampir sepuluh jam. Ibunya tidak keluar kamar sejak tadi siang. Aslan sudah membuang makanan itu ke tong sampah seperti apa yang diinginkan Ibunya. Bahkan Ayahnya tidak akan tahu itu. Tidak akan pernah.

Aslan menarik ponselnya di kantung seragam sekolahnya. Ada dua puluh lebih panggilan dari Uka dan Gery. Belasan pesan masuk dari orang yang sama. Aslan mengacukannya. Ponselnya telah disetel dalam mode senyap.

Ponsel yang baru saja ia letakan di atas meja itu bercahaya. Layarnya hidup, menampilkan sebuah panggilan.

Dari Uka.

Aslan mengambil ponselnya. Jika saja ia bisa membuat salah satu temannya bicara, maka Aslan bisa meneyelsaikan semuanya.

Aslan menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Lan, lo mas-"

"Kita ketemu di bar yang biasa. Kalo lo masih mau bicara sama gue."
Aslan menghentikan sambungan panggilannya secara sepihak tanpa berniat mendengar jawaban Uka.

Tanpa menunggu waktu lagi. Aslan telah berganti baju dengan setelan santai. Jaket hitam polos telah bertengger di sebelah pundaknya. Secepat yang ia bisa. Aslan telah menaiki motornya. Menghidupkan mesin dan meluncur menembus malam yang perlahan larut.

∆∆∆

Sama seperti pertama kali Aslan datang ke tempat ini, berisik yang tak sama sekali berubah. Tetap dipenuhi orang-orang yang gila akan kesenangan dunia yang singkat. Tak peduli siapa di depanmu. Wanita atau pun pria. Tua atau remaja yang kehilangan hasrat menuntut ilmu. Di bawah umur hingga mencapai sisa terkahir dari umurnya.

Semua bercampur aduk dan menginginkan secuil kebahagiaan. Meskipun dengan cara ilegal dan berbalut dosa. Mereka terlalu polos untuk mengetahui peliknya setelah dunia tamat. Timbangan perhisaban akan menjadi saksi buta yang paling adil.

"Aslan."

Sang empunya berbalik menatap laki-laki yang sangat dikenalnya.

"Lo dateng, tumben gak telat."

Uka mendengus dengan letih. "Udahlah, Lan. Lo jangan kek gini."

"Jangan gimana, lo sama Gery udah bohongin gue. Banyak hal yang gue nggak tahu. Dan teganya lo nutupin itu dari gue!" Nada suara Aslan meninggi meskipun percuma saja dengan sekitarnya yang jauh lebih berisik.

"Gue nggak tahu semua tentang yang lo bilang udah gue tutupin dari lo. Gue dan Gery cuma ambil kesepakatan."

"Kesepakatan?"

[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This)  [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang