Aslan meraba kepalanya yang terasa begitu nyeri. Sebelah pipinya diperban. Kain lembut itu menempel dari bawah matanya hingga ke rahang.Wajahnya terasa kaku dan mati rasa. Ia ingat kejadian di mobil, saat tubuhnya harus terhempas keras ke samping mobil. Aslan juga mengingat bagaimana Ayahnya pergi dengan Arin, gadis yang ternyata seorang wanita penghibur. Ia salah menilainya selama ini.
Air matanya entah kenapa harus jatuh di saat seperti ini. Mengingat bagaimana keadaan keluarganya yang tak bisa lagi dikatakan baik-baik saja. Bahkan untuk mencari jalan keluar itu sendiri, rasanya tidak mungkin bagi Aslan.
Ayahnya telah pergi jauh, berkhianat kepada Maya, istrinya sendiri. Dan semua pertengkaran-peelrtengkaran itu adalah bukti jelas. Semuanya akan berakhir suatu hari nanti.
Dan hari itu telah datang.
"Lan, lo nggak papa?" Gery datang dan langsung duduk di kursi tepat di sebelah kasur pasien yang Aslan tempati.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Aslan dengan nada permusuhan.
Gery menghela napas. "Gue mau bicara tentang rahasia Ayah lo selama ini."
"Enggak usah!" tolak Aslan cepat, bahkan tak berniat melihat ke arah lawan bicaranya.
"Lan, gue ngerti keadaan lo sekarang, tapi Ayah lo juga lagi berjuang di luar sana."
"Berjuang?" ulang Aslan, nada cibiran terdengar jelas dalam nada suaranya.
"Iya, Om Radit selama ini tuh kerja keras buat bangun kembali usahanya, nyari tender buat menjalin kerja sama. Lo tahu kan perusahaannya yang gulung tikar itu. Om Radit berjuang buat cari kesempatan di tempat itu."
"Maksud lo, tempat pelacur itu? Jangan ngarang! Gue bukan bocah goblok yang bisa lo tipu!"
"Gue nggak ngarang, salah satu kenalan Om Radit suka main ke sana. Di tempat itu pula dia selalu minta kerja sama sama kenalannya. Tapi lo tahu nggak semudah itu deketin orang yang bener-bener mau bantu?" Gery menjeda ucapannya setelah dirasa Aslan mulai mendengarkannya tanpa ada protes lagi.
"Jadi setiap malam, Om Radit cari kesempatan ke sana buat minta kerja sama, sampai suatu ketika Om Radit terpaksa harus ikut judi supaya bisa masuk ke dalam ruang pertemanan kenalannya. Lo tahu rasanya harus memaksa diri buat dianggap ada sama semua orang, itu sulit."
Aslan mengingat suatu hari di mana, Ayahnya pulang dengan keadaan mabuk dan hal itu membuat Aslan melihat pertengkaran yang lebih parah di antara Ayah dan Ibunya.
Bahkan Ibunya harus berteriak dan merobek kemeja Ayahnya hanya karena suaminya itu malah mengulang kata 'brisik' dengan bau minuna keras dari mulutnya.
Gery menghela napas panjang, bersiap menjelaskan kembali apa yang ia telah sepakati dengan Ayah Aslan dulu.
"Gue tahu itu semua karena di saat lo suka kabur dari rumah. Om Radit nyamperin gue. Lo tahu gue awalnya juga nggak suka dan pengen marah, karena gue pikir penderitaan lo selama ini lebih dari cukup. Tapi, Om Radit bicara semua rencananya ke gue. Dia mau gue jagain lo dan lo tahu, Ayah lo khawatir banget pas tahu lo udah ngerokok, dia ngertiin itu karena mungkin lo udah dalam keadaan yang sulit. Tapi balik lagi, gue punya janji buat jagain lo."
"Dan dia telantarin Ibu gue demi pekerjaannya, gitu," ucap Aslan dengan nada lemah. Tidak ada amarah yang terselip dalam ucapannya.
"Bukan. Ayah lo punya rencana lain buat itu. Om Radit belum mau bicara semua ini ke Tante Maya, belum saatnya."
"Kedua orangtua gue bertengkar tiap hari, dan lo tahu sebabnya?"
"Gue tahu, harusnya Om Radit jujur lebih dulu ke Tante Maya tentang rencananya."
"Terus kenapa dia tetep mau nutupin ini semua? Bahkan harus bersitegang sama Ibu gue? Apa alasannya?"
Gery diam seribu bahasa. "Gue nggak tahu soal itu."
Aslan tertawa miris, bagaimana semuanya bisa kembali seperti semula. Hanya karena sebuah ambisi jauh yang Ayahnya harapkan. Membiarkan Ibunya terkurung dalam sangkar penuh prasangka. Menerima segala konsekuensi hampir setiap hari berdebat dan saling melukai dengan kata-kata.
"Terus gimana dengan Arin? Apa lo mau bilang dia juga bagian dari rencana Ayah gue?"
Gery ragu dan memang ia tidak tahu jika ada gadis bernama Arin yang begitu menempel kepada Ayah Aslan. Bahkan ia juga sama terkejutnya melihat keduanya bersama, tampak nyaman satu sama lain.
"Lo nggak tahu 'kan soal itu?" cibir Aslan seolah semua penjelasan panjang Gery tak ada gunanya sekarang.
"Tapi gue yakin Ayah lo bukan pria-pria seberengsek yang ada di tempat itu."
Aslan ingin menyetujuinya, meskipun rasanya mustahil. Dia telah kecewa dengan semuanya. Semua tentang rencana yang masih abu-abu dan demi itu, haruskah Ayahnya menjadi korban di sini atau Ibunya yang sekaranglah menjadi korban.
Perhatian Aslan beralih ketika ponsel di sakunya bergetar. Lebih dulu Aslan menatap angka yang menunjukan waktu saat ini. Sebelum panggilan itu berakhir.
Pukul 00.00
"Lo pingsan di sini hampir dua jam, bahkan Uka harus cari alasan buat bisa masukkin lo ke sini."
Bersamaan dengan Uka yang datang. Di tangannya ada tas plastik yang berlogo serta nama sebuah cafe.
"Gue tahu lo belum makan dari sore, itu sebabnya tubuh lo lebih lemas dari biasanya," jelas Uka sambil mengambil tempat duduk Gery sebelumnya.
"Mending lo makan dulu, sebelum kita diusir dari rumah sakit," ucapnya lagi.
Tapi Aslan tak menggubris, dia lebih memilih mengangkat panggilan yang datang dari nomonr Bi Ida yang untuk kedua kalinya masuk.
Seketika dada Aslan terasa sesak, ada rasa khawatir yang datang. Berbisik tentang keadaan Ibunya di sana.
Cepat-cepat Aslan mengangkat panggilannya. Sebelum semua rasa cemasnya menggunung."Halo, Bi?"
Terdengar suara isak tangis dari seberang, lebih tepatnya suara yang di ambang panik dan kalut.
Mendengar itu, sontak saja membuat Aslan semakin kalang kabut dibutanya.
Aslan mendengarkan baik-baik suara Bi Ida yang lebih berisik dengan tangisannya.
"Den, itu Ibu, Den. Keadaannya semakin buruk, Den—"
Aslan menjatuhkan ponselnya tanpa sadar, tubuhnya bereaksi cepat, bangkit dari kasur dan melangkah setengah berlari ke luar ruangan. Tak memperdulikkan denyut di kepalanya yang semakin menjadi. Langkahnya di fokuskan melewati koridor rumah sakit yang sepi dengan pencahayaan yang muram.
Aslan menulikan pendengarannya saat Uka dan Gery menyerukan namanya. Ikut berlari mengikutinya.
Tapi Aslan tidak peduli, karena yang ia pedulikan saat ini adalah keadaan Ibunya.
[—]
A/N
Allo, ill?
Gimana nyampe sini, ceritanya?
Dikarenakan cerita ini adalah bentuk novelette. Jadinya partnya tidak akan panjang.
Apalagi saya sudah siapkan outlinenya.Tinggal revisi dan stay tune buat readers yang mau baca cerita ini sampe tamat!
See ya~
![](https://img.wattpad.com/cover/233252954-288-k79397.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This) [END] ✔
Novela Juvenil[ DARKTEENLIT (15+) ] 4th - #MOONWAVE_PROJECT ~Mereka hanya pembohong manis dalam topeng rupa-rupa emosi~ Dunia Aslan sudah tak seperti dulu lagi. Setelah ia tahu apa artinya omong kosong dan kenyataan palsu bahwa kedua orang tua, teman-temannya ter...